SASTRA DAN PENGAJARAN BAHASA
Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh: Denny Nugraha
Jurusan Tadris Bahasa Inggris Semester V
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon,
Indonesia
Ditulis dalam Bahasa Inggris (original) oleh: Mohammad Khatib dan
Amir Hossein Rahimi
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Allameh Tabataba’l, Tehran, Iran
Abstrak
Jurnal ini menyediakan sebuah tinjauan ulang pemikiran dan
penelitian mengenai peran sastra dalam kelas bahasa. Pertama, jurnal ini menyediakan
penjelasan berupa pandangan yang positif dan negatif terhadap penggunaan sastra
sebagai sumber belajar pengajaran bahasa. Kedua, jurnal ini mengungkapkan
isu-isu metodologis yang berbeda mengenai penggunaan sastra. Yang terakhir,
beberapa studi empiris yang telah dilakukan dihadirkan untuk menguji peran
sastra dalam pengajaran bahasa.
Kata kunci: Sastra, konteks EFL/ESL, Pengajaran bahasa.
1.
Pendahuluan
Penggunaan sastra dalam pengajaran bahasa merunut kembali pada abad
19. Metode dominan dari pengajaran bahasa pada saat itu adalah grammar
translation dan teknik yang paling populer adalah penerjemahan teks sastra kedalam
bahasa target. Karya sastra menyediakan materi tambahan untuk praktik tata
bahasa (grammar), belajar kosa kata, dan penerjemahan (Liaw, 2001).
Sejak munculnya pendekatan struktural terhadap bahasa dan populernya metode
langsung dan audiolingual, sastra tidak digunakan lagi dalam kelas bahasa.
Bahkan disaat diperkenalkannya CLT (Communicative Language Teaching)
literatur/sastra diabaikan dan dihilangkan dari silabus pelajaran bahasa. Salah
satu tokoh yang berpengaruh di bidang sastra, Maley (2001), menyebutkan
kurangnya riset/penelitian empiris dalam mendukung peran fasilitatif sastra
sebagai alasan utama munculnya pandangan negatif terhadap sastra.
Akan tetapi mulai dari pertengahan tahun 1980-an minat untuk
menjadikan sastra sebagai sebuah sumber pengajaran muncul kembali dan berlanjut
sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari publikasi buku teks tentang peran
sastra dalam kelas (contoh Duff dan Maley, 1991; Gower dan Pearson, 1986; Hill,
1986; Lazar, 1993; Maley dan Duff, 1989; McRae, 1991), tetapi masih ada
kontroversi tentang penggunaan sastra untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran
bahasa (Inggris). Banyak guru EFL (English as Foreign Language)/ESL (English
as Second Language) mempertimbangkan sastra hanya sebagai karya seni belaka
dan tidak cocok untuk level kemampuan siswa ESL/EFL, dan mengabaikan sastra
sebagai sumber pembelajaran dan pengajaran bahasa (Bassnett dan Grundy, 1993).
Beberapa guru menggunakan sastra sebagai tipe kegiatan pengisi dan tidak
sebagai bagian yang utuh dari pengajaran mereka (Wasanasomsithi, 1998). Tetapi
beberapa ahli percaya bahwa sastra bisa memperluas pengetahuan linguistik siswa
(Povey, 1967). Pugh (1989) berpendapat bahwa sastra adalah sumber belajar yang
kaya akan masukan/input yang bermakna khususnya dalam konteks bahasa Inggris
sebagai bahasa asing (ESL/EFL).
Berikut adalah pandangan negatif dan pandangan positif terhadap
penggunaan sastra dalam pengajaran bahasa Inggris.
2.
Pandangan negatif terhadap penggunaan Sastra
McKay (1982) menyebutkan beberapa pendapat yang menentang
penggunaan sastra. Pertama, kurangnya kontribusi sastra pada pengajaran grammar
yang merupakan salah satu tujuan penting program pengajaran bahasa. Alasannya
adalah kerumitan struktural dan penggunaan bahasa yang unik dalam sastra.
Pendapat yang kedua adalah bahwa sastra tidak membantu para siswa untuk mencapai
tujuan akademik dan keahlian. Yang ketiga adalah pandangan kultural khusus yang
terdapat di setiap karya sastra. Memahami dan mengartikan sudut pandang budaya
mungkin sulit bagi siswa khususnya yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris (non-native
speaker of English).
3.
Pandangan positif terhadap penggunaan Sastra
Menurut Povey (1972) membaca karya sastra membuat siswa
familiar/terbiasa dengan penggunaan perbendaharaan kata yang banyak dan
sintaksis yang baru dan kompleks, hal ini berkontribusi pada perluasan
penggunaan bahasa dan pengetahuan linguistik. Kelebihan lain dari penggunaan
sastra dalam kelas bahasa Inggris adalah mempromosikan penggunaan bahasa atau
komunikasi terutama dalam konteks EFL. McKay (1982) meyakini bahwa dalam
konteks karya sastra, hubungan peran dan konteks sosial yang telah ditetapkan
sebelumnya telah dipertimbangkan, sehingga sastra dapat digunakan untuk
meningkatkan kesadaran siswa tentang penggunaan bahasa. Kontibusi yang lainnya
dari sastra pada pembelajaran adalah faktor pengalaman dan motivasi atau afektif
yang disediakan melalui sastra dan pengaruhnya pada kecakapan membaca siswa.
Jika kita memahami membaca sebagai interaksi antara pembaca dengan teks, maka
pembaca harus berkeinginan atau termotivasi untuk membaca dan sastra dapat
dipertimbangkan sebagai alat untuk menyediakan motivasi/dorongan membaca
tersebut. Peningkatan kemampuan membaca mengarah pada pencapaian dalam tujuan
akademik dan keahlian praktis. Keunggulan lain dari sastra adalah dorongan bertoleransi
dalam menghadapi perbedaan budaya dan sebagai wadah pengenalan kreativitas
siswa.
Maley (2001) menggarisbawahi alasan-alasan mengenai kesesuaian
sastra sebagai sumber belajar dalam konteks EFL dan ESL sebagai berikut:
1.
Universalitas:
semua bahasa diketahui mempunyai sastra dan tema-tema yang disampaikan melalui
sastra tersebut seperti cinta, kematian, perpisahan, alam, dsb., adalah umum
bagi semua budaya. Sastra diseluruh dunia mengikuti tradisi dan genre yang
sama.
2.
Non-trivialitas:
tidak seperti banyak sumber pengajaran bahasa yang lain yang meremehkan teks
dan pengalaman, tapi sastra tidak meremehkan atau memandang rendah teks. Sastra
menawarkan masukan/input yang asli dan otentik.
3.
Keterkaitan
pribadi: pemikiran-pemikiran, kejadian, dan hal-hal yang diekspresikan dalam
sastra dialami oleh siswa atau dapat dibayangkan oleh mereka. Oleh karena itu,
mereka dapat menemukan sangkut-paut/keterkaitan antara sastra dengan kehidupan
pribadi mereka.
4.
Keragaman:
ada keragaman yang besar dari bahasa dan permasalahan yang dibicarakan dalam
sastra. Siswa dapat menikmati sebuah pilihan karya sastra yang tidak monoton
dan serba guna juga menghibur.
5.
Ketertarikan/minat:
sastra bersifat menarik sebagaimana sastra berkenaan dengan subjek masalah
dalam cara yang atraktif dan menarik.
6.
Ekonomi
dan kekuatan mempengaruhi: salah satu ciri tersendiri dari sastra adalah makna
yang membawa kenangan, perasaan, dan ingatan yang mana juga dapat akhirnya
mengingatkan kembali kata-kata dan kalimat yang pernah dibaca. Sastra berangkat
diluar apa yang dikatakan dan memungkinkan pikiran dapat diungkapkan hanya
dengan beberapa kata.
7.
Ambiguitas:
sastra memperkenankan perbedaan penafsiran. Jarang sekali bagi dua pembaca
untuk mempunyai sebuah penafsiran membaca yang sama terhadap suatu teks.
Keragaman pendekatan-pendekatan dan penafsiran ini menciptakan sebuah
kesempatan bagi pertukaran pemikiran yang asli dan menimbulkan interaksi.
Selain itu, setiap siswa dapat merasa aman tentang keabsahan penafsiran mereka
dari sebuah teks tertentu.
Arthur (1968) menyebutkan tiga cara dimana sastra dapat
mempromosikan pembelajaran bahasa. Yang pertama adalah daftar perbendaharaan
kata yang besar yang digunakan lebih banyak dalam sastra dibandingkan pada
percakapan sehari-hari. Yang kedua adalah pola sintaksis yang unik yang hanya
terdapat dalam bahasa Inggris tertulis seperti sastra. Contohnya adalah
penggunaan kalimat pasif, sering munculnya subordinate clause,
subordinasi dalam subordinasi dan pembalikan urutan/inversi dengan gaya
tertentu. Kelebihan yang ketiga adalah bahwa sastra membantu siswa untuk
memahami budaya masyarakat lain. Karakter yang berperan dan peristiwa yang
terjadi berdasarkan pada norma-norma dari budaya atau masyarakat tertentu.
Oster (1989) menunjukan dua keunggulan penggunaan sastra dalam
konteks ESL dan EFL. Sastra “memperluas pandangan siswa dan mengasah berpikir
kritis” (85). Sastra membantu siswa untuk melihat dari berbagai perspektif
karena ketika mereka membaca sebuah karya sastra, mereka bertukar pikiran
tentang kejadian-kejadian, karakter, dan perbedaan penafsiran. Siswa akan mengerti
bahwa teman sekelas mereka telah melihat sesuatu dengan cara berbeda dan
mempelajari bagaimana untuk membaca dengan cara-cara yang baru. Oster
menyebutkan keunggulan sastra terhadap kemampuan menulis seperti mendorong
kreativitas, mempelajari kosa kata yang lebih kaya dan menggunakannya dalam
menulis dan belajar bagaimana menggunakan bahasa kiasan untuk membuat tulisan
lebih emosional.
Hadaway, Vardell dan Young (2002) mengajukan tiga keunggulan
penggunaan sastra. Yang pertama adalah kontekstualisasi bahasa. Siswa menjadi
familiar dengan pemakaian bahasa di situasi yang berbeda ketika mereka membaca
sebuah karya sastra. Kedua, faktor sosial dan emosional yang ditanamkan dalam
format-format yang berbeda dari sastra seperti buku cerita bergambar, koran/majalah,
cerita pendek merupakan keunggulan lain dari sastra. Jadi, sastra bisa sesuai
bagi siswa dengan gaya yang berbeda. Keunggulan yang ketiga merujuk pada
penggunaan yang alami dan bermakna dari bahasa yang dibangun oleh ilustrasi dan
penggunaan bahasa deskriptif dalam sastra. Lazar (1993) mengatakan bahwa sastra
dapat digunakan sebagai sebuah alat untuk menciptakan peluang untuk diskusi,
perdebatan, dan berpikir kritis.
4.
Isu-isu metodologis dalam menggunakan sastra di kelas
Salah satu poin terpenting dalam menggunakan sastra di kelas bahasa
asing adalah konsep dari pengalaman yang berkaitan dengan sastra. Dengan lugas
didefinisikan oleh Arthur (1968) bahwa sastra adalah sebagai interaksi spesial yang
ada antara buku/teks dengan pembaca. Pengalaman sastra mempunyai ciri-ciri
tertentu. Yang pertama adalah bahwa pengalaman menikmati sastra itu terjadi
pada pembaca sendiri. Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksakan seseorang
untuk menikmati puisi atau cerita. Yang kedua menyangkut pembaca dan teks.
Karya sastra hendaknya sesuai untuk pembaca dan pembaca sendiri hendaknya
antusias dan mau untuk merespon karya sastra tersebut. Ciri-ciri yang terakhir
adalah bahwa pembaca hendaknya secara total dan intelektual terlibat dengan
karya sastra yang mereka baca. Poin penting yang disebutkan oleh Arthur adalah
bahwa “jika sastra adalah untuk menyediakan kendaraan yang berguna untuk
pengajaran kemampuan bahasa kedua/asing, maka sastra harus berhasil/lulus dulu
sebagai pengalaman pribadi”.
Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam mendorong siswa
untuk mengalami sendiri pengalaman sastra ketika membaca sebuah karya sastra.
Faktor pertama adalah pilihan/opsi teks sastra. Ada beberapa usulan yang
diberikan oleh Arthur mengenai pemilihan teks. Guru seharusnya tidak memilih
sebuah teks yang melibatkan banyak item kosa kata dan struktur grammatikal yang
baru dan sulit. Hal ini akan mematahkan semangat siswa karena mereka tidak dengan
mudah bisa mengerti karya sastra tersebut khususnya dalam konteks EFL dimana
tingkat kemampuan siswa mungkin tidak cukup baik untuk menganalis dan memahami
kosa kata dan struktur kalimat yang sulit. Asumsi kultural yang baru dan tidak
dikenal hendaknya dihindari khususnya di tahap-tahap awal pembelajaran. Ada
beberapa cerita yang umum untuk semua bangsa dan budaya. Guru dapat memilih
cerita-cerita itu atau menerjemahkan cerita populer kedalam budaya/bahasa asli
siswa jika mereka mempunyai bahasa ibu/asli yang sama. Tetapi nilai kesastraan cerita
itu hendaknya tetap terjaga selama proses penerjemahan. Faktor lain yang turut
berkontribusi pada pengalaman sastra adalah penyertaan item non verbal yang
tertanam pada teks. Petunjuk-petunjuk non verbal ini termasuk gambar-gambar (bahkan
untuk orang dewasa), efek suara khususnya bagi anak-anak yang disesuaikan oleh
suara guru. Hal ini direkomendasikan bahwa sastra harus dihadirkan pertama kali
kepada siswa sebagai sebuah pengalaman non verbal yang utuh. Faktor yang ketiga
dan terakhir yang disebutkan oleh Arthur adalah lingkungan membaca. Selama menggunakan
sastra dalam kelas EFL/ESL, atmosfir/lingkungannya harus rileks dan tanpa
mengintimidasi. Jumlah penjelasan yang diberikan oleh guru hendaknya
diminimalisir. Guru juga hendaknya menghindari membuat ujian membaca setelah
membaca suatu cerita karena siswa akan mempersiapkan diri mereka untuk ujian
daripada menerima cerita sebagai pengalaman sastra.
Maley (1989) telah membedakan antara dua tujuan pengajaran bahasa
menggunakan sastra. Yang pertama adalah pembelajaran bahasa untuk studi sastra
dan yang kedua adalah penggunaan sastra sebagai sebuah sumber untuk
pembelajaran bahasa. Tujuan yang pertama menekankan/mengutamakan status sastra
yang ‘spesial’. Sedangkan tujuan yang kedua memandang sastra sebagai salah satu
dari banyak fungsi bahasa.
Jika kita cenderung pada tujuan yang pertama, maka kita dapat
mendekati sastra melalui dua metode yang berbeda. Sebagaimana disebutkan oleh
Maley (1989) sebagai berikut:
(a)
Pendekatan
yang pertama adalah pendekatan kritis kesastraan dimana perhatian utama kita
adalah pada tingkat kesastraan dari teks yang kita pelajari. Pada pendekatan
tradisional ini kita berfokus pada aspek-aspek dari teks seperti alur,
karakterisasi, latar/setting, sudut pandang, motivasi, nilai, psikologi, dsb.
Agar pendekatan ini berhasil, siswa harus cukup kompeten dalam berbahasa, dan
familiar dengan kebiasaan kesastraan. Biarpun begitu, siswa EFL/ESL jarang
berada pada level kompetensi untuk tujuan ini. Hasilnya adalah apa yang disebut
sebuah ‘kompetensi semu’ dimana siswa menghafal istilah kritis teknis tanpa
pemahaman yang mendalam dan hanya mengulang opini-opini yang telah mereka
ekspos dalam ujian bahkan dengan hafalan diluar kepala. Oleh karena itu, penerapan
sastra dengan cara yang seperti ini memerlukan persiapan yang besar dan mengutamakan
bekerja pada kompetensi bahasa dan kesastraan siswa.
(b)
Pendekatan
yang kedua adalah pendekatan stylistic yang mana kita fokus pada sastra
sebagai ‘text’. Titik acuan untuk pendekatan ini adalah teks itu sendiri dan
lalu kita berfokus pada penemuan tekstual yang mengarah pada penafsiran teks.
Karena bahasa adalah prioritas dalam pendekatan ini, pendekatan ini tentulah
lebih relevan pada konteks EFL/ESL. Tidak seperti pendekatan pertama, pada
pendekatan ini proses pemaknaan dan pendeskripsian linguistik mendahului
penafsiran.
Maley mengindikasikan jika tujuan yang kedua ditetapkan sebagai
fokus perhatian, maka sastra dapat dianggap sebagai sebuah sumber pengajaran
dan pembelajaran bahasa. Kita dapat mengambil kelebihan dari sifat yang menarik
dari sastra untuk menciptakan motivasi pada siswa, dan kemudian membuat
kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan/kecakapan mereka. Perhatian utama
kita nanti adalah untuk memastikan bahwa siswa dapat saling berinteraksi baik
dengan sesama maupun dengan teks. Interaksi ini akan mengarah pada pembelajaran
bahasa dan pemahaman kesastraan kemudian mengikuti sebagai sebuah hasil
sampingan dari keterlibatan mereka dengan teks.
5.
Kajian pada penggunaan sastra di kelas
Donato dan Brooks (2004) menguji sebuah pelajaran sastra di sebuah sekolah
menengah atas untuk mata pelajaran bahasa Spanyol untuk melihat apakah diskusi
kelompok di kelas ini membantu siswa mengembangkan fungsi berbicara (speaking)
tingkat lanjutan. Mereka menganalisis wacana diskusi kesastraan dalam hal: a)
struktur wacana diskusi kesastraan, b) tipe pertanyaan yang digunakan oleh guru
selama diskusi, c) penggunaan tenses verb, dan d) kecerdasan siswa
dengan menggunakan sebuah desain penelitian kualitatif. Penemuan studi mereka
menunjukan bahwa struktur wacana/diskursus dari diskusi kesastraan, didalam
kelas yang mereka amati, adalah bahwa kebanyakan kata dan kalimat tingkat
wacana (discourse), dan naskah IRE cukup sering diamati. Dominansi
paparan pertanyaan merupakan penemuan lain yang signifikan. Ketika berdiskusi
hasil temuan mereka, Donato dan Brooks menyatakan bahwa diskusi yang bertempat
dalam kelas sastra mempunyai potensi untuk menggabungkan tujuan-tujuan
kecakapan lanjutan, biarpun begitu untuk mencapai tujuan ini, guru dan siswa
hendaknya siap siaga dan sadar akan potensi dari diskusi kesastraan.
Mantero (2001) meneliti sifat percakapan kelas di sebuah kelas
semester empat, mata kuliah bahasa Spanyol berasaskan sastra. Dia pada awalnya
mengidentifikasi tiga tingkatan percakapan kelas yaitu ujaran, dialog dan
diskusi, dan meneliti sifat percakapan kelas dalam sebuah kelas sastra. Dia
secara khusus berfokus pada contoh-contoh ketika percakapan kelas berpindah
diluar level ujaran dan dialog, bersama dengan peran-peran bacaan (teks), siswa
dan guru dalam percakapan kelas. Penemuan dari penelitiannya mengungkapkan
bahwa sifat percakapan kelas dalam mata kuliah bahasa Spanyol adalah paling
banyak pada level dialog (sama dengan naskah IR (Initiation-Response)
dimana guru memulai sebuah diskusi dengan sebuah pertanyaan dan siswa mengikuti
(follow-up) dengan sebuah respon). Penemuan yang menarik lainnya dari
penelitian tersebut adalah bahwa guru berada dalam kendali di kebanyakan
percakapan kelas, yang membiarkan siswa hanya merespon pada pertanyaan yang
ditanyakan olehnya.
Skidmore (2000) menganalis dua contoh wacana kelas (classroom
discourse) antara seorang guru dan sekelompok kecil siswa, yang termasuk
pada genre ‘percakapan tentang teks’, di sekolah dasar Inggris (konteks bahasa
Inggris sebagai bahasa ibu). Sama dengan penelitian Donato dan Brooks (2004),
Skidmore menganalisis satu sampel dari dua genre percakapan, secara internal persuasive
discourse dan authoritative discourse, dengan urutan pada a)
tipe-tipe pertanyaan yang ditanyakan oleh guru, b) elaborasi/uraian respon siswa
(contoh: kecerdasan), dan c) kemudahan atau hambatan guru selama diskusi kelas.
6.
Kesimpulan
Sastra merupakan sebuah bahan/materi baru dalam pengajaran dan
pembelajaran kompetensi komunikatif bahasa. Dalam kelas bahasa berbasis sastra,
sastra bisa menjadi materi utama pengajaran bahasa target, asalkan konteks
situasi komunikatifnya asli dan nyata. Sastra juga menyediakan kesenangan belajar
bahasa baru dengan dan melalui cerita-cerita yang menarik. Siswa dapat
memperluas wawasan dan pengalaman dunia mereka dengan membaca karya sastra.
Guru bahasa hendaknya mendorong siswa untuk membaca karya sastra untuk pemaknaan
dan pengalaman mereka sendiri alih-alih dipaksa untuk menerima persepsi guru
dari teks, sastra menyediakan contoh-contoh penggunaan bahasa yang efektif dan
sesuai untuk dipelajari oleh siswa. Sastra juga menunjukan siswa cara-cara baru
untuk melihat dunia disekitarnya dengan membangun makna yang berasal dari teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar