Jumat, 28 Agustus 2015

SASTRA DAN PENGAJARAN BAHASA

SASTRA DAN PENGAJARAN BAHASA
Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh: Denny Nugraha
Jurusan Tadris Bahasa Inggris Semester V
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati, Cirebon, Indonesia
Ditulis dalam Bahasa Inggris (original) oleh: Mohammad Khatib dan Amir Hossein Rahimi
Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Allameh Tabataba’l, Tehran, Iran

Abstrak
Jurnal ini menyediakan sebuah tinjauan ulang pemikiran dan penelitian mengenai peran sastra dalam kelas bahasa. Pertama, jurnal ini menyediakan penjelasan berupa pandangan yang positif dan negatif terhadap penggunaan sastra sebagai sumber belajar pengajaran bahasa. Kedua, jurnal ini mengungkapkan isu-isu metodologis yang berbeda mengenai penggunaan sastra. Yang terakhir, beberapa studi empiris yang telah dilakukan dihadirkan untuk menguji peran sastra dalam pengajaran bahasa.
Kata kunci: Sastra, konteks EFL/ESL, Pengajaran bahasa.

1.    Pendahuluan
Penggunaan sastra dalam pengajaran bahasa merunut kembali pada abad 19. Metode dominan dari pengajaran bahasa pada saat itu adalah grammar translation dan teknik yang paling populer adalah penerjemahan teks sastra kedalam bahasa target. Karya sastra menyediakan materi tambahan untuk praktik tata bahasa (grammar), belajar kosa kata, dan penerjemahan (Liaw, 2001). Sejak munculnya pendekatan struktural terhadap bahasa dan populernya metode langsung dan audiolingual, sastra tidak digunakan lagi dalam kelas bahasa. Bahkan disaat diperkenalkannya CLT (Communicative Language Teaching) literatur/sastra diabaikan dan dihilangkan dari silabus pelajaran bahasa. Salah satu tokoh yang berpengaruh di bidang sastra, Maley (2001), menyebutkan kurangnya riset/penelitian empiris dalam mendukung peran fasilitatif sastra sebagai alasan utama munculnya pandangan negatif terhadap sastra.
Akan tetapi mulai dari pertengahan tahun 1980-an minat untuk menjadikan sastra sebagai sebuah sumber pengajaran muncul kembali dan berlanjut sampai sekarang. Hal ini dapat dilihat dari publikasi buku teks tentang peran sastra dalam kelas (contoh Duff dan Maley, 1991; Gower dan Pearson, 1986; Hill, 1986; Lazar, 1993; Maley dan Duff, 1989; McRae, 1991), tetapi masih ada kontroversi tentang penggunaan sastra untuk tujuan pengajaran dan pembelajaran bahasa (Inggris). Banyak guru EFL (English as Foreign Language)/ESL (English as Second Language) mempertimbangkan sastra hanya sebagai karya seni belaka dan tidak cocok untuk level kemampuan siswa ESL/EFL, dan mengabaikan sastra sebagai sumber pembelajaran dan pengajaran bahasa (Bassnett dan Grundy, 1993). Beberapa guru menggunakan sastra sebagai tipe kegiatan pengisi dan tidak sebagai bagian yang utuh dari pengajaran mereka (Wasanasomsithi, 1998). Tetapi beberapa ahli percaya bahwa sastra bisa memperluas pengetahuan linguistik siswa (Povey, 1967). Pugh (1989) berpendapat bahwa sastra adalah sumber belajar yang kaya akan masukan/input yang bermakna khususnya dalam konteks bahasa Inggris sebagai bahasa asing (ESL/EFL).
Berikut adalah pandangan negatif dan pandangan positif terhadap penggunaan sastra dalam pengajaran bahasa Inggris.
2.    Pandangan negatif terhadap penggunaan Sastra
McKay (1982) menyebutkan beberapa pendapat yang menentang penggunaan sastra. Pertama, kurangnya kontribusi sastra pada pengajaran grammar yang merupakan salah satu tujuan penting program pengajaran bahasa. Alasannya adalah kerumitan struktural dan penggunaan bahasa yang unik dalam sastra. Pendapat yang kedua adalah bahwa sastra tidak membantu para siswa untuk mencapai tujuan akademik dan keahlian. Yang ketiga adalah pandangan kultural khusus yang terdapat di setiap karya sastra. Memahami dan mengartikan sudut pandang budaya mungkin sulit bagi siswa khususnya yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris (non-native speaker of English).
3.    Pandangan positif terhadap penggunaan Sastra
Menurut Povey (1972) membaca karya sastra membuat siswa familiar/terbiasa dengan penggunaan perbendaharaan kata yang banyak dan sintaksis yang baru dan kompleks, hal ini berkontribusi pada perluasan penggunaan bahasa dan pengetahuan linguistik. Kelebihan lain dari penggunaan sastra dalam kelas bahasa Inggris adalah mempromosikan penggunaan bahasa atau komunikasi terutama dalam konteks EFL. McKay (1982) meyakini bahwa dalam konteks karya sastra, hubungan peran dan konteks sosial yang telah ditetapkan sebelumnya telah dipertimbangkan, sehingga sastra dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang penggunaan bahasa. Kontibusi yang lainnya dari sastra pada pembelajaran adalah faktor pengalaman dan motivasi atau afektif yang disediakan melalui sastra dan pengaruhnya pada kecakapan membaca siswa. Jika kita memahami membaca sebagai interaksi antara pembaca dengan teks, maka pembaca harus berkeinginan atau termotivasi untuk membaca dan sastra dapat dipertimbangkan sebagai alat untuk menyediakan motivasi/dorongan membaca tersebut. Peningkatan kemampuan membaca mengarah pada pencapaian dalam tujuan akademik dan keahlian praktis. Keunggulan lain dari sastra adalah dorongan bertoleransi dalam menghadapi perbedaan budaya dan sebagai wadah pengenalan kreativitas siswa.
Maley (2001) menggarisbawahi alasan-alasan mengenai kesesuaian sastra sebagai sumber belajar dalam konteks EFL dan ESL sebagai berikut:
1.    Universalitas: semua bahasa diketahui mempunyai sastra dan tema-tema yang disampaikan melalui sastra tersebut seperti cinta, kematian, perpisahan, alam, dsb., adalah umum bagi semua budaya. Sastra diseluruh dunia mengikuti tradisi dan genre yang sama.
2.    Non-trivialitas: tidak seperti banyak sumber pengajaran bahasa yang lain yang meremehkan teks dan pengalaman, tapi sastra tidak meremehkan atau memandang rendah teks. Sastra menawarkan masukan/input yang asli dan otentik.
3.    Keterkaitan pribadi: pemikiran-pemikiran, kejadian, dan hal-hal yang diekspresikan dalam sastra dialami oleh siswa atau dapat dibayangkan oleh mereka. Oleh karena itu, mereka dapat menemukan sangkut-paut/keterkaitan antara sastra dengan kehidupan pribadi mereka.
4.    Keragaman: ada keragaman yang besar dari bahasa dan permasalahan yang dibicarakan dalam sastra. Siswa dapat menikmati sebuah pilihan karya sastra yang tidak monoton dan serba guna juga menghibur.
5.    Ketertarikan/minat: sastra bersifat menarik sebagaimana sastra berkenaan dengan subjek masalah dalam cara yang atraktif dan menarik.
6.    Ekonomi dan kekuatan mempengaruhi: salah satu ciri tersendiri dari sastra adalah makna yang membawa kenangan, perasaan, dan ingatan yang mana juga dapat akhirnya mengingatkan kembali kata-kata dan kalimat yang pernah dibaca. Sastra berangkat diluar apa yang dikatakan dan memungkinkan pikiran dapat diungkapkan hanya dengan beberapa kata.
7.    Ambiguitas: sastra memperkenankan perbedaan penafsiran. Jarang sekali bagi dua pembaca untuk mempunyai sebuah penafsiran membaca yang sama terhadap suatu teks. Keragaman pendekatan-pendekatan dan penafsiran ini menciptakan sebuah kesempatan bagi pertukaran pemikiran yang asli dan menimbulkan interaksi. Selain itu, setiap siswa dapat merasa aman tentang keabsahan penafsiran mereka dari sebuah teks tertentu.
Arthur (1968) menyebutkan tiga cara dimana sastra dapat mempromosikan pembelajaran bahasa. Yang pertama adalah daftar perbendaharaan kata yang besar yang digunakan lebih banyak dalam sastra dibandingkan pada percakapan sehari-hari. Yang kedua adalah pola sintaksis yang unik yang hanya terdapat dalam bahasa Inggris tertulis seperti sastra. Contohnya adalah penggunaan kalimat pasif, sering munculnya subordinate clause, subordinasi dalam subordinasi dan pembalikan urutan/inversi dengan gaya tertentu. Kelebihan yang ketiga adalah bahwa sastra membantu siswa untuk memahami budaya masyarakat lain. Karakter yang berperan dan peristiwa yang terjadi berdasarkan pada norma-norma dari budaya atau masyarakat tertentu.
Oster (1989) menunjukan dua keunggulan penggunaan sastra dalam konteks ESL dan EFL. Sastra “memperluas pandangan siswa dan mengasah berpikir kritis” (85). Sastra membantu siswa untuk melihat dari berbagai perspektif karena ketika mereka membaca sebuah karya sastra, mereka bertukar pikiran tentang kejadian-kejadian, karakter, dan perbedaan penafsiran. Siswa akan mengerti bahwa teman sekelas mereka telah melihat sesuatu dengan cara berbeda dan mempelajari bagaimana untuk membaca dengan cara-cara yang baru. Oster menyebutkan keunggulan sastra terhadap kemampuan menulis seperti mendorong kreativitas, mempelajari kosa kata yang lebih kaya dan menggunakannya dalam menulis dan belajar bagaimana menggunakan bahasa kiasan untuk membuat tulisan lebih emosional.
Hadaway, Vardell dan Young (2002) mengajukan tiga keunggulan penggunaan sastra. Yang pertama adalah kontekstualisasi bahasa. Siswa menjadi familiar dengan pemakaian bahasa di situasi yang berbeda ketika mereka membaca sebuah karya sastra. Kedua, faktor sosial dan emosional yang ditanamkan dalam format-format yang berbeda dari sastra seperti buku cerita bergambar, koran/majalah, cerita pendek merupakan keunggulan lain dari sastra. Jadi, sastra bisa sesuai bagi siswa dengan gaya yang berbeda. Keunggulan yang ketiga merujuk pada penggunaan yang alami dan bermakna dari bahasa yang dibangun oleh ilustrasi dan penggunaan bahasa deskriptif dalam sastra. Lazar (1993) mengatakan bahwa sastra dapat digunakan sebagai sebuah alat untuk menciptakan peluang untuk diskusi, perdebatan, dan berpikir kritis.
4.    Isu-isu metodologis dalam menggunakan sastra di kelas
Salah satu poin terpenting dalam menggunakan sastra di kelas bahasa asing adalah konsep dari pengalaman yang berkaitan dengan sastra. Dengan lugas didefinisikan oleh Arthur (1968) bahwa sastra adalah sebagai interaksi spesial yang ada antara buku/teks dengan pembaca. Pengalaman sastra mempunyai ciri-ciri tertentu. Yang pertama adalah bahwa pengalaman menikmati sastra itu terjadi pada pembaca sendiri. Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk menikmati puisi atau cerita. Yang kedua menyangkut pembaca dan teks. Karya sastra hendaknya sesuai untuk pembaca dan pembaca sendiri hendaknya antusias dan mau untuk merespon karya sastra tersebut. Ciri-ciri yang terakhir adalah bahwa pembaca hendaknya secara total dan intelektual terlibat dengan karya sastra yang mereka baca. Poin penting yang disebutkan oleh Arthur adalah bahwa “jika sastra adalah untuk menyediakan kendaraan yang berguna untuk pengajaran kemampuan bahasa kedua/asing, maka sastra harus berhasil/lulus dulu sebagai pengalaman pribadi”.
Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam mendorong siswa untuk mengalami sendiri pengalaman sastra ketika membaca sebuah karya sastra. Faktor pertama adalah pilihan/opsi teks sastra. Ada beberapa usulan yang diberikan oleh Arthur mengenai pemilihan teks. Guru seharusnya tidak memilih sebuah teks yang melibatkan banyak item kosa kata dan struktur grammatikal yang baru dan sulit. Hal ini akan mematahkan semangat siswa karena mereka tidak dengan mudah bisa mengerti karya sastra tersebut khususnya dalam konteks EFL dimana tingkat kemampuan siswa mungkin tidak cukup baik untuk menganalis dan memahami kosa kata dan struktur kalimat yang sulit. Asumsi kultural yang baru dan tidak dikenal hendaknya dihindari khususnya di tahap-tahap awal pembelajaran. Ada beberapa cerita yang umum untuk semua bangsa dan budaya. Guru dapat memilih cerita-cerita itu atau menerjemahkan cerita populer kedalam budaya/bahasa asli siswa jika mereka mempunyai bahasa ibu/asli yang sama. Tetapi nilai kesastraan cerita itu hendaknya tetap terjaga selama proses penerjemahan. Faktor lain yang turut berkontribusi pada pengalaman sastra adalah penyertaan item non verbal yang tertanam pada teks. Petunjuk-petunjuk non verbal ini termasuk gambar-gambar (bahkan untuk orang dewasa), efek suara khususnya bagi anak-anak yang disesuaikan oleh suara guru. Hal ini direkomendasikan bahwa sastra harus dihadirkan pertama kali kepada siswa sebagai sebuah pengalaman non verbal yang utuh. Faktor yang ketiga dan terakhir yang disebutkan oleh Arthur adalah lingkungan membaca. Selama menggunakan sastra dalam kelas EFL/ESL, atmosfir/lingkungannya harus rileks dan tanpa mengintimidasi. Jumlah penjelasan yang diberikan oleh guru hendaknya diminimalisir. Guru juga hendaknya menghindari membuat ujian membaca setelah membaca suatu cerita karena siswa akan mempersiapkan diri mereka untuk ujian daripada menerima cerita sebagai pengalaman sastra.
Maley (1989) telah membedakan antara dua tujuan pengajaran bahasa menggunakan sastra. Yang pertama adalah pembelajaran bahasa untuk studi sastra dan yang kedua adalah penggunaan sastra sebagai sebuah sumber untuk pembelajaran bahasa. Tujuan yang pertama menekankan/mengutamakan status sastra yang ‘spesial’. Sedangkan tujuan yang kedua memandang sastra sebagai salah satu dari banyak fungsi bahasa.
Jika kita cenderung pada tujuan yang pertama, maka kita dapat mendekati sastra melalui dua metode yang berbeda. Sebagaimana disebutkan oleh Maley (1989) sebagai berikut:
(a)      Pendekatan yang pertama adalah pendekatan kritis kesastraan dimana perhatian utama kita adalah pada tingkat kesastraan dari teks yang kita pelajari. Pada pendekatan tradisional ini kita berfokus pada aspek-aspek dari teks seperti alur, karakterisasi, latar/setting, sudut pandang, motivasi, nilai, psikologi, dsb. Agar pendekatan ini berhasil, siswa harus cukup kompeten dalam berbahasa, dan familiar dengan kebiasaan kesastraan. Biarpun begitu, siswa EFL/ESL jarang berada pada level kompetensi untuk tujuan ini. Hasilnya adalah apa yang disebut sebuah ‘kompetensi semu’ dimana siswa menghafal istilah kritis teknis tanpa pemahaman yang mendalam dan hanya mengulang opini-opini yang telah mereka ekspos dalam ujian bahkan dengan hafalan diluar kepala. Oleh karena itu, penerapan sastra dengan cara yang seperti ini memerlukan persiapan yang besar dan mengutamakan bekerja pada kompetensi bahasa dan kesastraan siswa.
(b)     Pendekatan yang kedua adalah pendekatan stylistic yang mana kita fokus pada sastra sebagai ‘text’. Titik acuan untuk pendekatan ini adalah teks itu sendiri dan lalu kita berfokus pada penemuan tekstual yang mengarah pada penafsiran teks. Karena bahasa adalah prioritas dalam pendekatan ini, pendekatan ini tentulah lebih relevan pada konteks EFL/ESL. Tidak seperti pendekatan pertama, pada pendekatan ini proses pemaknaan dan pendeskripsian linguistik mendahului penafsiran.
Maley mengindikasikan jika tujuan yang kedua ditetapkan sebagai fokus perhatian, maka sastra dapat dianggap sebagai sebuah sumber pengajaran dan pembelajaran bahasa. Kita dapat mengambil kelebihan dari sifat yang menarik dari sastra untuk menciptakan motivasi pada siswa, dan kemudian membuat kegiatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan/kecakapan mereka. Perhatian utama kita nanti adalah untuk memastikan bahwa siswa dapat saling berinteraksi baik dengan sesama maupun dengan teks. Interaksi ini akan mengarah pada pembelajaran bahasa dan pemahaman kesastraan kemudian mengikuti sebagai sebuah hasil sampingan dari keterlibatan mereka dengan teks.
5.    Kajian pada penggunaan sastra di kelas
Donato dan Brooks (2004) menguji sebuah pelajaran sastra di sebuah sekolah menengah atas untuk mata pelajaran bahasa Spanyol untuk melihat apakah diskusi kelompok di kelas ini membantu siswa mengembangkan fungsi berbicara (speaking) tingkat lanjutan. Mereka menganalisis wacana diskusi kesastraan dalam hal: a) struktur wacana diskusi kesastraan, b) tipe pertanyaan yang digunakan oleh guru selama diskusi, c) penggunaan tenses verb, dan d) kecerdasan siswa dengan menggunakan sebuah desain penelitian kualitatif. Penemuan studi mereka menunjukan bahwa struktur wacana/diskursus dari diskusi kesastraan, didalam kelas yang mereka amati, adalah bahwa kebanyakan kata dan kalimat tingkat wacana (discourse), dan naskah IRE cukup sering diamati. Dominansi paparan pertanyaan merupakan penemuan lain yang signifikan. Ketika berdiskusi hasil temuan mereka, Donato dan Brooks menyatakan bahwa diskusi yang bertempat dalam kelas sastra mempunyai potensi untuk menggabungkan tujuan-tujuan kecakapan lanjutan, biarpun begitu untuk mencapai tujuan ini, guru dan siswa hendaknya siap siaga dan sadar akan potensi dari diskusi kesastraan.
Mantero (2001) meneliti sifat percakapan kelas di sebuah kelas semester empat, mata kuliah bahasa Spanyol berasaskan sastra. Dia pada awalnya mengidentifikasi tiga tingkatan percakapan kelas yaitu ujaran, dialog dan diskusi, dan meneliti sifat percakapan kelas dalam sebuah kelas sastra. Dia secara khusus berfokus pada contoh-contoh ketika percakapan kelas berpindah diluar level ujaran dan dialog, bersama dengan peran-peran bacaan (teks), siswa dan guru dalam percakapan kelas. Penemuan dari penelitiannya mengungkapkan bahwa sifat percakapan kelas dalam mata kuliah bahasa Spanyol adalah paling banyak pada level dialog (sama dengan naskah IR (Initiation-Response) dimana guru memulai sebuah diskusi dengan sebuah pertanyaan dan siswa mengikuti (follow-up) dengan sebuah respon). Penemuan yang menarik lainnya dari penelitian tersebut adalah bahwa guru berada dalam kendali di kebanyakan percakapan kelas, yang membiarkan siswa hanya merespon pada pertanyaan yang ditanyakan olehnya.
Skidmore (2000) menganalis dua contoh wacana kelas (classroom discourse) antara seorang guru dan sekelompok kecil siswa, yang termasuk pada genre ‘percakapan tentang teks’, di sekolah dasar Inggris (konteks bahasa Inggris sebagai bahasa ibu). Sama dengan penelitian Donato dan Brooks (2004), Skidmore menganalisis satu sampel dari dua genre percakapan, secara internal persuasive discourse dan authoritative discourse, dengan urutan pada a) tipe-tipe pertanyaan yang ditanyakan oleh guru, b) elaborasi/uraian respon siswa (contoh: kecerdasan), dan c) kemudahan atau hambatan guru selama diskusi kelas.
6.    Kesimpulan

Sastra merupakan sebuah bahan/materi baru dalam pengajaran dan pembelajaran kompetensi komunikatif bahasa. Dalam kelas bahasa berbasis sastra, sastra bisa menjadi materi utama pengajaran bahasa target, asalkan konteks situasi komunikatifnya asli dan nyata. Sastra juga menyediakan kesenangan belajar bahasa baru dengan dan melalui cerita-cerita yang menarik. Siswa dapat memperluas wawasan dan pengalaman dunia mereka dengan membaca karya sastra. Guru bahasa hendaknya mendorong siswa untuk membaca karya sastra untuk pemaknaan dan pengalaman mereka sendiri alih-alih dipaksa untuk menerima persepsi guru dari teks, sastra menyediakan contoh-contoh penggunaan bahasa yang efektif dan sesuai untuk dipelajari oleh siswa. Sastra juga menunjukan siswa cara-cara baru untuk melihat dunia disekitarnya dengan membangun makna yang berasal dari teks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar