Kamis, 11 Februari 2016

Theme dalam Penerjemahan: Sebuah Perspektif Linguistik Fungsional Sistemis

Download Full Text Here

Theme dalam Penerjemahan: Sebuah Perspektif Linguistik Fungsional Sistemis
Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh:
Denny Nugraha
Jurusan Tadris Bahasa Inggris
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh:
Bo Wang
Hong Kong Polytechnic University, Hong Kong

Abstrak

Sejak 1990-an, analisis wacana/diskursus (Discourse Analysis) telah iaplikasikan untuk kajian penerjemahan, dan kajian dengan pendekatan ini menjadi sangat populer. Sebagaimana, salah satu sumber analisis wacana/diskursus, model Linguistik Fungsional Sistemis atau yang selanjutnya disebut Systemic Functional Linguistic (SFL) dapat digunakan untuk menganalisa teks asli (sumber) dan teks terjemahan (sasaran). Mengikuti pendekatan ini, kedua jenis teks tersebut dibandingkan pada level sosiologis, semiotis, kelaziman (generik), registerial, diskursial, dan leksikogramatis dengan mengadopsi sebuah proses naik-turun (fluktuatif). Kebermanfaatan kerangka linguistik Halliday telah dikenal secara luas dalam bidang kajian penerjemahan. Sementara itu, tingkatan/strata yang berbeda-beda dari Tata bahasa Fungsional Sistemis (SFG) telah memberikan perhatiannya pada sejumlah kajian. Dalam artikel ini, penulis telah membatasi topik hanya pada satu aspek, yaitu metafungsi tekstual (textual metafunction). Pertama, penulis melacak perkembangan SFL dan integrasinya dengan kajian penerjemahan. Beberapa istilah dasar dalam SFL dan analisis Theme/Rheme juga dijelaskan. Kemudian, beberapa kajian yang sudah ada meliputi analisis tematik dan penerjemahan pun juga ditinjau kembali (review). Sebagaimana disarankan oleh beberapa ahli, apa yang kita butuhkan adalah sebuah perangkat objektif untuk studi penerjemahan deskriptif. Hal ini akan bermanfaat untuk menghubungkan SFL dengan kajian penerjemahan deskriptif, sebagaimana SFL berperan sebagai sebuah alat yang menghubungkan pilihan linguistik (linguistic choices) dengan konteks sosio-kultural secara sistematis.
Kata Kunci: Linguistik fungsional sistemis, metafungsi tekstual (textual metafunction), kajian penerjemahan deskriptif, pilihan linguistik.
1.        Pendahuluan

Setengah abad yang lalu telah menjadi saksi perkembangan yang pesat dari tata bahasa fungsional sistemis (Halliday, 1961, 1985, 1994; Halliday dan Matthiessen, 2004). Sebagai teori tata bahasa, SFG merupakan sebuah sumber yang berhubungan dengan tata bahasa dari semua bahasa manusia, dan SFG menawarkan sebuah pendekatan meninjau tata bahasa suatu bahasa dalam hal bagaimana bahasa itu digunakan. Tata bahasa dari suatu bahasa diinterpretasikan sebagai sebuah sistem yang membantu orang untuk berinteraksi satu sama lain dan untuk memahami pengalaman duniawi mereka (Martin, Matthiessen, & Painter, 2010).
Pakar linguistik fungsional sistemis seperti Halliday (2009), mengambil konsep penerjemahan sebagai sebuah hubungan antara bahasa-bahasa maupun juga sebagai proses perpindahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Dalam satu atau dua perspektif, penerjemahan dapat dipandang sebagai sebuah pencapaian yang luar biasa rumit dari otak manusia. Menurut Halliday, penerjemahan tidak hanya merupakan sebuah bidang penelitian yang melulu, tetapi juga sejenis ranah pengujian bagi teorinya. Ia menekankan bahwa teorinya tidak akan pernah cukup jika teorinya tersebut tidak bisa memberikan sebuah pertimbangan terhadap fenomena penerjemahan.
Sejak ditemukannya linguistik fungsional sistemis (SFL), banyak para ahli yang telah mengadopsi teori ini kedalam kajian penerjemahan. Catford (1965) memanfaatkan skala Halliday (1961) dan kategori tata bahasa yang merupakan sebuah versi terdahulu dari tata bahasa fungsional sistemis (SFG), dan membangun sebuah model penerjemahan. Ia menunjukkan bagaimana “penerjemahan dapat dilihat sebagai sebuah hubungan antara unit-unit dalam struktur yang tersusun dalam sebuah peringkat (ranks) dan level (levels) yang hierarkhis” (Steiner, 2005: 485), dan demikian telah dikenal secara umum sebagai salah satu ilmuwan yang pertama kali menggunakan linguistik fungsional sistemis dalam penerjemahan.
Dari pertengahan 1970-an sampai sekarang, versi awal dari teori Halliday (1961) telah memberikan ruang peningkatan kepada sebuah sistem, yang mana sistem tersebut memproses struktur sebagai “hasil dari beberapa konfigurasi opsi-opsi sistemis” (Steiner, 2005: 486). Hal ini menjadi sebuah tata bahasa yang tersemantisisasi daripada tata bahasa yang formal dari versi skala dan kategori, dan hal tersebut telah mempertimbangkan keduanya baik teks maupun konteks. Kebermanfaatan kerangka linguistik Halliday (1985, 1994) kemudian telah dikenal secara luas dalam bidang kajian penerjemahan (seperti Newmark, 1987, 1991; Munday, 1997, 2001, 2002, 2008; Taylor, 1993).
Strata yang berbeda-beda dari SFG telah memberikan perhatian pada sejumlah kajian (misalnya Baker, 1992; Hatim dan Mason, 1990, 1997; House, 1977, 1997, 2006; Malmkjær, 2005; Matthiessen, 2001; Steiner, 1992, 1998, 2002, 2004; Trosberg, 2002). Contohnya, beberapa penelitian diorientasikan ke arah strata semantik. Baker (1992) sebagaimana Hatim dan Mason (1990, 1997) mengadopsi beberapa konsep dari SFL, seperti genre, register, cohesion, dan coherence untuk kajian mereka pada tekstualitas penerjemahan. Dalam hal ini, ekuivalensi (kesepadanan) telah diuji pada tataran leksikal, gramatik, tekstual, dan pragmatis. House (1990, 1997) memberikan sebuah kerangka penilaian kualitas penerjemahan yang berdasarkan pada teori genre dan register milik Halliday. Ia juga menggabungkan hal-hal yang bersifat pragmatis, ide-ide kultural, dan kemudian mengembangkan evaluasi teks kepada konten yang lebih luas.
Beberapa kajian sesudahnya (seperti Matthiessen, 2001; Teich, 2001, 2003) telah menjadi sangat komprehensif. Menurut Erich Steiner (2005: 487), hal ini “merepresentasikan sebuah gerakan dalam memformulasi teori sepanjang dimensi stratifikasi.” Contohnya, Matthiessen (2001) membuat bagan jangkauan penerjemahan dan meletakkan penerjemahan dalam sebuah tipologi sistem sebagai sebuah proses semiotis. Dalam hal ini, penerjemahan telah dikaji dalam sebuah arsitektur SFL yang menyeluruh. Dua orientasi penerjemahan diperkenalkan, dari jangkauan yang paling luas (global) ke jangkauan yang paling sempit (lokal). Ekuivalensi penerjemahan (translation equivalence) dan perubahan/pergeseran terjemahan (translation shift) dipandang sebagai “dua sisi yang berlawanan pada sebuah orientasi perbedaan antara dua bahasa yang terlibat (hal. 78).” Enam dimensi, yang disebut oleh Matthiessen sebagai jangkauan penerjemahan disertakan, yaitu stratification, instantiation, rank, metafunction, delicacy, dan axis. Ekuivalensi dan pergeseran tersebut kemudian ditentukan oleh parameter-parameter ini. Kajiannya telah menyajikan sebuah pemetaan sistemis untuk kajian di masa mendatang.  
Dalam artikel ini, penulis akan membatasi topik hanya pada satu aspek saja, yaitu textual metafunction. Penulis akan meninjau ulang kajian-kajian yang berhubungan dengan perkembangan tematik, baik dalam kajian analisis wacana/diskursus maupun dalam kajian penerjemahan. Keadaan terkini penelitian dalam area ini diharapkan untuk dijadikan rujukan bagi penelitian yang lebih lanjut. Sementara itu, penulis juga akan memberikan beberapa saran dan masukan untuk kajian di masa yang akan datang.

2.        Perkembangan Tematik dan Analisis Diskursus
2.1    Linguistik Fungsional sistemis dan Metafungsi


Linguistik fungsional sistemis telah memberikan sebuah pendekatan yang sistematis dan detil untuk menganalisis teks. Menurut Martin et al. (2010: 2), tujuan utama bagi Halliday membuat SFL “adalah tidak untuk mengorientasikan tata bahasa (grammar) kepada satu area penggunaan bahasa manapun yang ditentukan, tetapi untuk menyediakan sebuah tata bahasa yang umum bagi berbagai tujuan seperti analisis teks dan interpretasi.” Oleh karena itu, “SFL merupakan sebuah alat tata bahasa yang menyediakan sebuah dasar ‘lingua franca’ untuk para analis teks yang dilakukan dalam ruang lingkup yang luas dan dalam konteks yang berbeda; SFL juga sangat efektif dikelola sebagai sebuah alat untuk tujuan-tujuan tersebut” (ibid.).

Dibandingkan dengan tata bahasa formal (formal grammar) atau tata bahasa preskriptif tradisional (traditional prescriptive grammar), SFG secara semantis lebih kaya, lebih sesuai untuk membantu analisis wacana/diskursus menjadi lebih perseptif (berterima). Sebuah dimensi penting ditambahkan kedalam analisis sistemis sebagaimana yang dinyatakan oleh Martin et al. (2010: 3) bahwa SFG menunjukkan apa yang dipilih oleh para pengguna bahasa untuk memaknai sebuah teks yang diberikan kepada mereka terhadap latar belakang yang dapat mereka persepsikan.
Klausa merupakan unit dasar dalam analisis SFL. Klausa juga merupakan sebuah kombinasi dari untaian makna yang berbeda, yang mencakup diantaranya; “klausa sebagai sebuah pesan (yaitu sebuah informasi kuantum)”, “klausa sebagai sebuah pertukaran (yaitu sebuah transaksi antara pembicara dengan pendengar)”, dan “klausa sebagai sebuah representasi (yaitu sebuah penafsiran dari beberapa proses pengalaman manusia yang terus-menerus)” (Halliday, 1994: 34).
Secara bersamaan, terdapat tiga metafungsi dari sebuah teks, yang meliputi ideational metafunction (klausa sebagai representasi, yang direalisasikan oleh experiential dan logical meaning), interpersonal metafunction (klausa sebagai pertukaran), dan textual metafunction (klausa sebagai pesan). Dengan bantuan dari sebuah analisis sistemis, ketiga jenis makna ini akan bersama-sama dipertimbangkan dalam analisis. Sebagaimana hal tersebut ditunjukkan dalam Gambar 1, secara keseluruhan dalam analisis teks, empat untaian makna yang berbeda ini diharapkan untuk dapat diungkap.





Diagram 1. Mode-mode makna dalam teks diungkapkan oleh bagian metafungsional dari analisis diskursus. Dari Matthiessen, 2014: 277.
Metafungsi tekstual (textual metafunction) direalisasikan oleh struktur tematik dan pola-pola kohesi. Didalam artikel ini, penulis akan berfokus pada makna tekstual yang berhubungan dengan organisasi dan struktur klausa dan teks.

2.2    Fungsi dari Theme 
                       Konsep theme diperkenalkan oleh Mathesius pada tahun 1939. Konsep tersebut berasal dari karya-karya pada functional sentence prescriptive (FSP) atau kalimat preskriptif fungsional yang ditulis oleh banyak ahli linguistik aliran Praha (Prague school), seperti Mathesius, Firbas, dan Vaches. 
              Pandangan Mathesius tentang theme kemudian telah diterima oleh kebanyakan ahli linguistik aliran Praha lainnya. Menurutnya, theme merujuk kepada “apa yang diketahui dengan jelas dalam situasi yang diberikan dan dari apa yang dimanfaatkan oleh pengguna bahasa” (Firbas, 1964: 286). Dua aspek yang dicakup dalam definisi ini, berdasarkan pada apa yang dicakup oleh informasi tematik seperti: “(i) informasi yang diketahui atau jelas dalam situasi tertentu, (ii) informasi dari apa yang dimanfaatkan oleh pengguna bahasa” (Fries, 1995a: 1). Halliday (1967, 1985) lebih lanjut membedakan dua gagasan yang telah disebutkan di atas. Dalam SFG, istilah Given digunakan untuk merujuk kepada informasi yang telah diketahui (yaitu aspek pertama), sedangkan Theme merujuk kepada “titik keberangkatan pesan” (yaitu aspek yang kedua). Fries (1995a) telah membedakan kedua pendekatan ini sebagai “the combining approach” atau pendekatan yang terkombinasi/terintegrasi dan “the splitting approach” atau pendekatan yang terpecah. 
                   Dalam karya-karya ahli linguistik pada kerangka SFL, theme dan informasi (information) telah dipisahkan. Dengan kata lain, Given dan New sebagaimana theme dan rheme semuanya digunakan sebagai istilah yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Elemen dari Given dan New terdiri dari struktur informasi, sementara theme dan rheme sebagian terdiri atas struktur tematik klausa (Fries, 1995a). Jadi, struktur theme dan informasi menggunakan struktur yang berbeda. “struktur informasi dibebankan kepada unit informasi” yang hanya diasosiasikan secara tidak langsung dengan klausa. Struktur theme adalah bagian dari klausa dan struktur gramatik yang lain” (Fries, 1995a).
Menurut Halliday, definisi theme sebagaimana dijelaskan di bawah ini:

(i)                 Theme adalah sesuatu yang sedang dibicarakan, titik keberangkatan bagi klausa sebagai pesan (Halliday, 1970: 212).

(ii)              Klausa bahasa Inggris terdiri dari sebuah theme dan rheme ... (theme) adalah titik acuan dimana pesan terjurai... theme dari suatu klausa bahasa Inggris merupakan elemen yang diletakkan di posisi awal dari suatu klausa; ... (Halliday, 1970: 161).
(iii)            Theme adalah elemen yang berperan sebagai titik keberangkatan suatu pesan; theme adalah sesuatu yang dengan keberadaannya, pesan dari klausa dapat dipahami (Halliday, 1985: 38).
(iv)             Sebagai sebuah petunjuk umum, theme dapat diidentifikasi sebagai elemen yang datang di posisi awal dalam suatu klausa. ... Theme adalah satu elemen dalam sebuah konfigurasi struktural tertentu, yang diambil sebagai sebuah keseluruhan, yang menyusun klausa sebagai sebuah pesan. ... Sebuah pesan terdiri dari sebuah theme yang tersusun dengan sebuah rheme. Di dalam konfigurasi tersebut, theme merupakan titik awal untuk suatu pesan; theme adalah elemen yang menentukan akan menjadi seperti apa klausa tersebut (Halliday, 1985: 39).
(v)               Theme adalah elemen yang berperan sebagai titik keberangkatan suatu pesan; theme adalah sesuatu yang menempatkan dan mengorientasikan klausa kedalam konteksnya (Halliday dan Matthiessen, 2004: 64).
Dalam beberapa definisi di atas, ada beberapa aspek yang menurut Fries (1995a) dapat disimpulkan dan patut untuk mendapatkan perhatian kita. Pertama, theme dipandang sebagai sebuah unit fungsional. Hal ini menjelaskan mengapa definisi-definisi yang ada diatas semuanya bersifat deskriptif, seperti “titik keberangkatan bagi klausa sebagai pesan” dan “acuan dimana pesan terjurai”. Kedua, posisi theme ditentukan di awal suatu klausa dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk bahasa-bahasa lain, theme dapat direalisasikan melalui maksud-maksud yang lain, contohnya adalah penggunaan partikel tertentu dalam bahasa Jepang, atau imbuhan kata dalam bahasa Tagalog. Sebuah deskripsi fungsional sistemis yang seksama dihadirkan seperti dalam sebuah karya Language Typology: A Functional Perspective (Caffarel, Martin, dan Matthiessen, 2004). Ketiga, meskipun deskripsi-deskripsi ini berada pada tingkatan (rank) klausa, struktur tematik yang sesungguhnya ada pada semua tingkatan dalam bahasa Inggris (kalimat, paragraf, teks, dsb).
Mengikuti definisi theme dari Halliday, terdapat beberapa perbedaan lain, yang bisa bermanfaat untuk analisis wacana/diskursus. Sebuah theme dapat dikategorikan sebagai marked atau unmarked. Di dalam sebuah klausa deklaratif, sebuah theme akan bersifat marked jika theme tersebut bisa berupa apa saja selain subjek. Jika sebuah theme yang ada merupakan subjek dari klausa tersebut, maka theme tersebut dikategorikan sebagai unmarked. “Bentuk yang paling lazim dari theme yang berkategori marked adalah theme yang berbentuk sebuah adverbial group (frase keterangan), misalnya, today, suddenly, somewhat, distractedly, atau prepositional phrase (frase kata depan) seperti at night, in the corner, without any warning yang berfungsi sebagai Adjunct dalam suatu klausa” (Halliday dan Matthiessen, 2004: 73).
Selain itu, dalam satu theme, elemen referensial pertama yang dapat berupa participant, circimstance, atau process, disebut sebagai topical theme. Sebelum topical theme, mungkin ada elemen-elemen lain yang disebut sebagai textual themes dan interpersonal themes, yang fungsinya adalah sebagai penghasil makna tekstual atau interpersonal. 
Textual themes bisa berupa continuative, conjunction atau conjunctive adjunct (yaitu theme yang bersifat struktural); sementara itu, interpersonal theme bisa berupa modal atau comment adjunct (yaitu modal theme), vocative, atau finite verbal operator dalam klausa interogatif (pertanyaan) yang menghasilkan jawaban ya/tidak (yes/no questions). Dalam banyak klausa, hanya terdapat satu atau dua elemen. Akan tetapi, jika jenis-jenis yang berbeda dari theme yang telah disebutkan diatas muncul bersama-sama, maka theme tersebut telah menjadi multiple theme. Jenis-jenis yang berbeda dari theme digambarkan dalam contoh sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini:


Table 1. Contoh jenis-jenis theme yang berbeda-beda. Diadaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004: 81.
well
but
then
surely
Jean
wouldn’t
the best idea
be to join in
continuative
conjunction (structural theme)
conjunction
modal atau comment adjunct (modal theme)
vocative
finite
topical theme

Textual theme
Interpersonal theme
Topical theme
Rheme

2.3    Perkembangan Tematik dan Analisis Diskursus
Perkembangan tematik dapat diaplikasikan untuk menganalisa berbagai genre atau register, seperti wacana/diskursus ilmiah (scientific discourse) (Halliday, 1990), wacana/diskursus sastra (literary discourse) (Goatly, 1995; Martin, 1995), wacana/diskursus akademik (academic discourse) (Whittaker, 1995), ulasan olahraga (sports commentary) (Ghadessy, 1995a), dan sebagainya. Para ahli linguistik mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari analisis tematik. Sebagaimana Ventola (1995: 85) mengajukan bahwa “dalam analisis sastra, analisis tematik memberikan wawasan tentang gaya penulis sastra; dalam pengajaran bahasa, analisis tematik juga dapat menyediakan bantuan strukturisasi teks kepada penulis yang masih pemula ...”
Pada bagian ini, penulis telah memilih beberapa sumber (paper) dari Thematic Development in English Texts yang disunting oleh Mohsen Ghadessy (1995b) sebagaimana studi/kajian lain pada genre yang berbeda untuk menjawab dua pertanyaan berikut ini: (i) Bagaimana Theme-Rheme dapat digunakan dalam analisis wacana/diskursus? (ii) Apa yang mungkin dapat ditemukan melalui analisis tersebut?
Halliday (1990) memilih karya Charles Darwin The Origin of Species untuk dianalisa secara tematik. Ia mengkaji struktur Theme dan Rheme, dan telah mengamati beberapa fitur-fitur unggulan dari analisis tersebut. Walaupun hal ini hanya sebuah analisis parsial yang berasal dari satu bagian teks, strategi menulis Darwin telah teridentifikasi, yang mana merupakan langkah untuk mengakumulasi kumpulan bukti dan untuk melangkah maju berjenjang secara logis. “Dan khususnya pada momen-momen yang kritis ia memasuki sebuah mode yang lebih monumental, yang dimana seorang penulis dapat memproduksi sebuah teks yang telah ia ketahui itu unik dan akan mendapatkan sebuah tempat yang unik dalam sejarah gagasan” (p. 74). Pada akhirnya, Halliday menekankan kebutuhan akan sebuah mode ilmiah sebagai pengganti dari “sebuah alat ad hoc (bersifat khusus untuk maksud tertentu) yang dapat digunakan secara mandiri dalam sebuah ulasan pribadi” (p. 74).
Ghadessy (1995a) melakukan sebuah analisis theme-rheme terhadap klausa-klausa yang ada dalam ulasan olahraga tertulis. Berbeda dari kajian seperti yang telah di-review diatas, theme dikategorisasikan kedalam tiga jenis yang berbeda dalam artikel ini, yaitu textual, interpersonal, dan ideational. Lalu hasil yang teridentifikasi dikomparasikan dengan penemuan dalam genre dan register yang lain oleh Fries (1995b). Dua hipotesis telah ditentukan, yaitu: (i) sifat-sifat gramatik dan leksiko-semantik dari theme yang berbeda untuk register/genre yang berbeda. (ii) Frekuensi theme berkaitan erat dengan elemen-elemen struktur yang ada dalam register/genre yang berbeda. Dalam kaitannya dengan sifat-sifat gramatik dan leksiko-semantik, terdapat sebuah hubungan yang jelas antara pemilihan theme dengan elemen-elemen struktural. Hal ini terlihat agak kompleks ketika perbedaan antara beberapa genre dan register dikomparasikan. Kajian ini meneliti lebih dalam struktur tematik, sebagaimana fitur-fitur pada level-level gramatik dan leksiko-semantik dilibatkan. Ghadessy juga menyarankan bahwa kajian-kajian perkembangan tematik hendaknya didukung dengan kajian-kajian pada mood dan transitivity system.
Martin (1995) mempresentasikan sebuah analisis cermat terhadap dua teks, yaitu sebuah kutipan dari novel detektif karya P. D. James yang berjudul Shroud for a Nightingale dan sebuah hortatory exposition dari Sydney Morning Herald. Ia sependapat dengan dua langkah yang ditunjukkan oleh Fries dan Francis (1992: 56) bahwa untuk deskripsi theme dalam semua bahasa: “(i) Kita harus mengembangkan deskripsi yang eksplisit tentang bagaimana theme direalisasikan dalam berbagai struktur. (ii) Kita harus mengembangkan seperangkat contoh, argumen, dan deskripsi yang menunjukkan penggunaan dan interpretasi theme dalam suatu konteks. Contoh, argumen, dan deskripsi ini hendaknya secara eksplisit menghubungkan konten tematik kepada interpretasi teks.” Martin menyarankan bahwa “Theme dalam klausa bahasa Inggris sesungguhnya berarti lebih dari apa yang dijelaskan oleh pesan dalam klausa tersebut. ... Pola-pola informasi yang signifikan mengalir melalui theme dalam cara-cara yang kritis kepada interpretasi makna sebuah teks” (p. 254). Akhirnya, ia menekankan perlu adanya suatu deskripsi dari para ahli linguistik terhadap teks. Mirip dengan dua kajian sebelumnya, artikel ini membuktikan lebih lanjut keefektifan dari analisis theme-rheme. Contoh, argumen, dan deskripsi semuanya telah berhasil menunjukkan kebermanfaatan dan interpretasi dari theme dalam konteksnya. Sekali lagi, analisis theme-rheme merupakan sebuah cara yang objektif dan ilmiah dari analisis wacana/diskursus. “Tanpa orientasi tersebut, contestation hanya akan membuang-buang waktu saja” (p. 254).
Goatly (1995) memilih 63 puisi dari sebuah seri A Shropshire Land yang ditulis oleh A. E. Houseman, dan analisisnya berdasarkan pada perspektif stylistic. Ia mengidentifikasi frekuensi dan pola-pola signifikan dari marked theme. Disamping itu, ia juga berhasil menghubungkan teori-teori retorika klasik dengan urutan karya puisi bebas klasik dan penggunaan idiosinkratis pengarang puisi terhadap marked Theme dengan perkembangan tematik. Kajian tersebut berkesimpulan bahwa “analisis linguistik marked Theme dapat mencapai status stylistic-nya dengan menjembatani celah yang ada antara linguistik dan kritik sastra” (hal. 196). Bersama dengan peneliti lainnya yang berhasil menghubungkan kajian linguistik dengan kritik sastra, (seperti Leech, 1969; Halliday, 1971), kajian-kajian ini semuanya memastikan kesesuaian triangulasi analisis linguistik dengan kritik sastra atau teori retorika.
Whittaker (1995) menganalisa Theme tekstual dan ideational dalam delapan artikel akademik (yaitu empat artikel bidang ekonomi dan empat lainnya dalam bidang linguistik). Jenis-jenis Theme yang berbeda diidentifikasi dan dikalkulasi, dengan tujuan mencari data untuk memberikan inovasi pada pengajaran pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing (English as Foreign Language Learners) untuk menulis karya tulis akademik. Dua kesimpulan besar dari studi ini adalah: pertama, terdapat perbedaan antara jumlah Theme tekstual dan interpersonal dalam dua genre yang berbeda, artikel akademik dapat diekspektasikan memiliki beberapa (sedikit) interpersonal theme. “Textual theme dua kali lebih sering dijumpai, dan jenis karya tulis (artikel akademik) ini sangat bergantung pada relational process” (hal. 124). Kedua, berdasarkan persentase jenis theme yang diadopsi penulis, dua genre yang berbeda tersebut memiliki strategi yang berbeda “untuk mempengaruhi pembaca, pada umumnya tanpa menunjukkannya sama sekali” ketika karya tulis tersebut dibuat (hal. 124). Dari kajian ini, kita dapat memahami bahwa analisis kuantitatif juga merupakan sebuah cara yang efektif untuk menganalisa theme-rheme. Sementara itu, seperti dalam banyak kajian lainnya (seperti Berry, 1995), analisis pola tematik mungkin mempunyai beberapa implikasi pedagogis.
Dapat disimpulkan bahwa kajian-kajian diatas telah membuktikan bahwa perkembangan tematik (thematic development) dapat diterapkan untuk analisis teks dengan genre yang berbeda-beda. Selain itu, pun juga dengan metodologi yang berbeda-beda, entah itu kuantitatif, kualitatif atau kedua-duanya, kajian-kajian ini telah berkontribusi menghasilkan beragam penemuan dan implikasi lebih lanjut. Kajian penerjemahan juga memungkinkan siapa saja untuk mendapatkan manfaat dari analisis theme dan rheme.
3.    Perkembangan Tematik dalam Kajian Penerjemahan
         Sejak tahun 1990-an, analisis wacana/diskursus telah diaplikasikan pada studi penerjemahan, dan studi dengan pendekatan ini telah menjadi populer. Sebagai salah satu sumber analisis wacana/diskursus, model SFL dapat digunakan untuk menganalisa baik teks asli maupun teks terjemahan. Di awal jurnal ini, penulis telah memberikan gambaran sejarah singkat tentang perkembangannya (model SFL). Berdasarkan pendekatan ini, kedua teks tersebut dikomparasikan pada level sosiologis, semiotis, generik, registerial, diskursal, dan leksikogramatis dengan mengadopsi top-down process (Eggins, 1994). Sementara itu, “teks-teks yang sama juga ditempatkan dalam area sosiokultural tersendiri melalui bottom-up process” (Mubenga, 2010: 271).

Lebih lanjut, sebagai salah satu topik sentral dalam wilayah kajian SFL, metafungsi tekstual dari wacana (diskursus) telah menarik perhatian beberapa ahli, dengan sejumlah studi yang telah dilakukan. Menurut Kim dan Matthiessen (forthcoming), fokus dari studi-studi yang ada saat ini adalah untuk menunjukkan peran dari Theme dan pengaruhnya pada deret tematik (thematic progression).
Dalam bidang linguistik fungsional sistemis (SFL), penerjemahan dideskripsikan oleh mode-mode makna metafungsional yang berbeda: ideational metafunction (experiential dan logical), interpersonal metafunction, dan textual metafunction. “Jika kita melihat penerjemahan sebagaimana secara sentral melibatkan penciptaan ulang makna melalui pilihan-pilihan yang dibuat oleh penerjemah dalam pemaknaan teks sumber dan melalui pilihan-pilihan dalam produksi teks terjemahan, hal ini berdasarkan bahwa semua mode makna sama-sama dilibatkan: penerjemahan melibatkan pembuatan ulang makna-makna ideational dari jenis logical, makna-makna ideational dari jenis experiential, makna-makna interpersonal, dan makna-makna tekstual” (Kim dan Matthiessen, forthcoming: 1). Secara tradisional, dalam studi penerjemahan, titik perhatian telah dipusatkan pada makna experiential, sementara makna tekstual diabaikan (House, 1997). Namun, peningkatan jumlah studi pada bidang ini masih ditemukan dalam sastra, yang telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran baru terhadap studi penerjemahan textual choices.
Pada bagian ini, penulis akan meninjau ulang beberapa studi yang ada saat ini dengan melibatkan analisis tematik dari ketiga aspek, yaitu: (i) apakah struktur tematik dalam teks asli dengan teks terjemahan dipertahankan atau tidak, (ii) pemilihan theme sebagai pilihan (theme as choice) pada level tekstual, (iii) beberapa kerangka yang bertujuan untuk menjawab “meta-question” melalui kebermanfaatan SFL pada area studi penerjemahan ini.
3.1    Struktur Tematik dalam Penerjemahan
3.1.1    Studi yang berfokus pada struktur tematik yang mirip

      Hasselgard (1998) menguji apakah struktur tematik itu dipertahankan atau diubah dalam penerjemahan. Delapan teks dipilih dari korpus paralel bahasa Inggris-Norwegia. Empat diantaranya adalah kutipan dari novel berbahasa Norwegia dengan terjemahan bahasa Inggris, sementara empat lainnya adalah karya berbahasa Inggris yang diterjemahkan kedalam bahasa Norwegia. Sejumlah 150 kalimat secara acak dipilih dari setiap karya tersebut, dengan total sejumlah 600 pasang kalimat. Kesimpulan studi ini menunjukkan bahwa mayoritas kalimat (sebanyak 83%) berbagi theme yang sama baik dalam bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemudian dalam sisa kalimat yang lainnya (sebanyak 17%), terdapat perbedaan theme yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam struktur gramatis.

Sebanyak sembilan ulasan politik yang diterjemahkan dari bahasa Inggris kedalam bahasa Mandarin dipilih oleh Ghadessy dan Gao (2000) untuk sebuah analisis perkembangan tematik kuantitatif. Dengan membandingkan antara teks asli dengan teks terjemahan, beberapa persamaan dan perbedaan dapat ditemukan. Pertama, mayoritas theme yang bersifat tambahan dalam bahasa Mandarin merupakan theme yang sederhana. Untuk theme yang lebih dari satu atau ganda, secara signifikan jumlahnya tidak berbeda. Kedua, teks berbahasa Mandarin mempunyai lebih banyak marked dan unmarked theme. Ketiga, terdapat lebih banyak ellipted themes dan times (theme dan keterangan waktu yang dihilangkan) sebagaimana pada kategori theme dalam teks berbahasa Mandarin. Berdasarkan penemuan ini, penulis mengajukan bahwa terdapat “korelasi yang sangat signifikan antara theme dalam teks berbahasa Inggris dengan theme dalam teks terjemahan berbahasa Mandarin terhadap fitur-fitur theme khusus dan pola-pola theme yang dipilih/terpilih” (p. 461). Oleh karena itu, analisis pola-pola tematik diharapkan bisa memberikan kontribusi pada pengajaran menulis (teaching writing).
Liu dan Yang (2013) menganalisa pola-pola deret tematik baik dari teks asli dan 11 versi teks terjemahan dari karya Of Studies milik Francis Bacon. Seperti dua studi yang telah di-review diatas, struktur tematik dari karya asli tetap dipertahankan, dan sebuah korespondensi interlingual dasar antara teks-teks tersebut dapat ditemukan. Teks berbahasa Inggris lebih cenderung kepada penggunaan tipe T2R1 dari deret tematik (yakni theme klausa ke-2 diambil dari rheme klausa ke-1), sedangkan teks terjemahan cenderung untuk mengadopsi tipe T2T1 (yakni theme klausa ke-2 diambil dari theme klausa ke-1). Penulis percaya bahwa studi yang dilakukan Liu dan Yang diatas, menguji kebenaran pandangan Venuti (1995: 9) bahwa penerjemahan adalah “sebuah domestikasi (proses adaptasi) yang tak terhindarkan”, yang “selalu menghubungkan sebuah teks bahasa asing yang parsial dan dimodifikasi, ditambahkan dengan fitur-fitur yang khas ke dalam bahasa lokal/sasaran”. Sementara itu, penulis dari artikel ini juga mengindikasikan bahwa korespondensi antara pola-pola deret tematik merupakan salah satu kaidah dalam studi deskriptif.
3.1.2    Studi yang berfokus pada struktur tematik yang berbeda
       Ventola (1995) mengeksplorasi struktur theme-rheme antara teks akademik yang berbahasa Jerman dan teks akademik yang berbahasa Inggris. Deret dan perkembangan tematik dalam teks paralel dibahas dalam studi ini. Disarankan bahwa perbedaan diantara teks tersebut dihubungkan kepada struktur theme-rheme klausa-klausa yang ada didalamnya dan bagaimana informasi yang bersifat given dan new dipresentasikan. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Halliday (1985), struktur informasi bertepatan dengan struktur topical theme-rheme suatu klausa, jadi dalam kasus klausa yang berkategori unmarked, topical theme-nya juga bisa menjadi informasi yang bersifat given, sementara rheme-nya bisa menjadi informasi yang bersifat new. Berdasarkan studi sebelumnya pada perkembangan tematik yang dilakukan oleh Halliday (1985) dan Weinrich (1993), studi ini mengilustrasikan bagaimana struktur theme/rheme dapat diaplikasikan dalam berbagai teks, dan studi ini juga berkesimpulan bahwa dalam register akademik (academic register), “pola-pola theme-rheme itu penting dalam menuntun pembaca melalui jejak-jejak logis yang dibangun oleh penulis” (Ventola, 1995: 102). Mengikuti usaha-usaha Halliday (1961) dan Koller (1989) dalam mengintegrasikan teori dan praktik, hal ini mengindikasikan bahwa penerjemah seharusnya dilatih untuk sadar akan struktur tematik.

Dalam studi yang lain, dengan mempelajari struktur informasi dan struktur tematik antara penerjemahan bahasa Inggris dan bahasa Portugis, Vasconcellos (2008) menekankan variasi antara dua bahasa dan kompetensi penerjemah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa “penerjemah profesional memilih untuk mempertahankan theme dan fokus pada teks asli (bahasa sumber) meskipun terkendala sintaksis bahasa sasaran yang berbeda” (p. 63). Sementara itu, penerjemah juga perlu untuk mempertimbangkan beberapa aspek, seperti “celah/perbedaan dalam kosakata/leksis (lexicon), perpaduan konsep-konsep multikata, perbedaan dalam register, perbedaan budaya, dsb.” (ibid.). Vasconcellos (2008) percaya bahwa tidak mungkin bagi seorang penerjemah untuk dapat menangkap semua sistem makna yang ada.
3.2    Pemilihan Theme as Choice
          Matthiessen (2001, 2014) memandang penerjemahan sebagai pembentukan ulang makna dalam konteksnya melalui pilihan. Terdapat pilihan yang diambil oleh penerjemah selama penafsiran teks asli dan selama pembuatan teks terjemahan. Penerjemahan merupakan “sebuah proses memilih opsi yang berkelanjutan dalam sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran” (2014: 2). Keduanya baik dalam penafsiran teks asli dan dalam produksi teks terjemahan, selalu ada alternatif atau opsi yang terkandung dalam potensi makna untuk dipilih oleh penerjemah. Pilihan-pilihan ini dipertimbangkan dalam organisasi metafungsi bahasa. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sebuah teks dibangun oleh tali makna yang berbeda (lihat Gambar 1). “Dalam kasus makna tekstual, penerjemah memilih bagaimana untuk menafsirkan pesan-pesan dan urutan-urutan pesan yang menciptakan aliran informasi dalam teks sumber, dan mereka (penerjemah) memilih antara opsi-opsi dalam bahasa sasaran untuk merepresentasikan makna-makna tekstual ke dalam teks terjemahan yang mereka hasilkan” (p. 7). Disamping itu, pilihan-pilihan ini dibuat berdasarkan pada “konteks dimana teks sumber digunakan dan dimana teks terjemahan akan digunakan” (ibid.).


Gambar 2. Sumbu dari “ekuivalensi penerjemahan” kepada “pergeseran penerjemahan” sebagai derajat kesesuaian (kongruensi) antara teks sumber dan teks sasaran berdasarkan empat mode metafungsi makna (dari Matthiessen, 2014: 2).

Berdasarkan pada studi sebelumnya, Matthiessen (2014) mengidentifikasi berbagai tingkatan perubahan/pergeseran terjemahan (translation shift) dalam metafungsi yang berbeda, dan menempatkannya pada sebuah sumbu (lihat Gambar 2).
Sebagaimana terlihat pada Gambar 2, “pilihan dalam satu metafungsi mungkin lebih dekat kepada satu ujung sumbu, sementara pilihan dalam metafungsi yang lain mungkin lebih dekat kepada ujung sumbu pergeseran (perubahan). Penerjemahan melibatkan pertukaran dalam pilihan-pilihan antar spektrum metafungsional” (p. 9). Jenis-jenis perubahan metafungsional yang berbeda diikhtisarkan dalam matriks dibawah ini (lihat Gambar 3). Dari Gambar 3 kita dapat melihat bahwa perubahan penerjemahan dipandang dari segi fungsi tekstual dikategorikan kedalam dua jenis, yaitu textual to textual dan textual to logical.



Gambar 3. Matriks perubahan penerjemahan (dari Matthiessen, 2014: 13).


 3.3    Kebermanfaatan Model SFL pada Studi Penerjemahan Deskriptif
    Di awal tahun 1980-an, Newmark (1987: 293) telah mendeteksi signifikansi/tujuan dari menghubungkan SFL dengan studi penerjemahan. Ia kemudian membuat pernyataan dibawah ini:
“Sejak penerjemah bekerja dengan makna secara ekslusif dan berkelanjutan, tidak mengherankan bahwa linguistik Halliday yang memandang bahasa sebagai potensi makna harus memberikan peran sebagai alat yang berguna untuk menentukan bagian-bagian konstituen/unsur bahasa sumber dan jaringan relasinya dengan bahasa sasaran yang dituju.”

Pendekatan SFL bersifat deskriptif, dan dapat menawarkan sebuah metodologi kepada cabang dari studi penerjemahan deskriptif yang diprakarsai oleh Toury (1995). Sebagaimana disarankan oleh Mubenga (2010), ada beberapa prosedur yang hendaknya dilakukan oleh penerjemah seperti dijelaskan di bawah ini:
“(i) menempatkan teks target/sasaran (selanjutnya disebut TT) dalam sistem target/sasaran untuk menemukan keberterimaannya (acceptance),
(ii) memetakan TT kepada teks sumber (selanjutnya disebut ST) untuk menentukan hubungan antara bagian/segmen TT dengan ST dan studi perubahan translasional, dan
(iii) memformulasikan generalisasi tentang keputusan yang dibuat selama proses penerjemahan dan kaidah-kaidah dari sistem TT dan ST.”

Perubahan yang ada adalah alih-alih pertama menempatkan TT dalam area sosiokulturalnya, sebagaimana yang diajukan oleh Toury (1995), “model fungsional sistemis memulai proses perubahan tersebut dengan menganalisa baik ST dan TT kearah tingkatan leksikogramatis guna memberikan gambaran profil sumber linguistik dan non-linguistiknya. Profil ini kemudian dikomparasikan dan direlokasi di dalam konteks sistemisnya untuk mengidentifikasi perubahan translasional dan untuk memutuskan keduanya baik keputusan dan kaidah yang ada dalam proses penerjemahan” (Mubenga, 2010: 271).
Bahkan pendekatan Zohar dan Toury (1980, 1995) dapat meneliti kaidah-kaidah dalam penerjemahan. Teori Polisystem menggunakan sifat keteraturan dalam penerjemahan dalam lingkungan/ranah sosial dan budaya. Namun, teori ini bukan berarti tidak adanya batasan. Karena teori tersebut bersifat mengikat budaya, teori itu telah mengabaikan dampak/pengaruh dari ST (Yao, 2007). Jadi, model SFL milik Halliday dapat diaplikasikan pada kajian penerjemahan. Model tersebut bukan sebuah alternatif dari teori polysystem tapi lebih bersifat sebagai pelengkap teori tersebut.
Untuk menguji kebermanfaatan SFL pada kajian penerjemahan, beberapa ahli telah mengajukan model/metode mereka berdasarkan pada pendekatan SFL untuk mengkaji penerjemahan. Contohnya, Munday (2002) telah berupaya untuk menempatkan teks pada konteks sosiokulturalnya. Model yang diajukannya merupakan sebuah integrasi dari beberapa pendekatan seperti SFL, korpus linguistik, dan analisis konteks sosial-budaya. Ia yakin bahwa analisis SFL telah berhasil mengidentifikasi aspek-aspek penting yang berhubungan dengan perubahan/pergeseran dalam penerjemahan. Metafungsi tekstual dipertimbangkan dari sudut pandang kohesi bertingkat (increased cohesion), pola theme-rheme, panjangnya kalimat dan tanda baca. Kemudian, alat-alat korpus linguistik “memungkinkan manipulasi teks yang cepat dan mengungkap sesuatu yang baru yang mungkin tidak nampak pada analisis manual” (p. 91). Akhirnya, hasil analisis tersebut ditempatkan pada konteks sosiokultural dan politik teks, sehingga dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan kaidah-kaidah kerja yang ada dalam proses penerjemahan.
Dalam studi lainnya yang dilakukan oleh Zhu Chunsen (1993, 1996, 2008), ia menegaskan pentingnya perbandingan tekstual dalam penerjemahan. Ia yakin bahwa penggunaan bahasa dalam pembentukan teks bersifat tri strata (tiga tingkatan), kemudian ia mengemukakan model tiga dimensi yang disebut struktur makna atau structure of meaning (SOM).
Model ini menggabungkan Systemic Functional Grammar (SFG) yang diajukan oleh Halliday dengan teori tindak tutur (speech act) yang diajukan oleh Austin. Menurut Zhu (1996), SFG berfokus pada struktur semantik teks, sementara teori tindak tutur lebih  memperhatikan tentang kalimat dalam penggunaannya. Ia berpegang bahwa ‘pola dari daya ilokusioner + informasi’ pada tingkatan kalimat dapat digunakan dalam analisis diskursus/wacana pada tingkatan teks” (p. 345). Oleh karena itu, hal ini sesuai untuk menghubungkan dua teori bersama-sama. “Model fungsional sistemis memberikan kita wawasan tentang mekanisme pembuatan teks dalam hubungannya dengan pengguna bahasa, komunikasi dan situasi, sementara konsep tindak tutur menarik perhatian kita kepada daya ilokusioner dan efek perlokusioner dari sebuah teks dalam komunikasi yang aktual, kedua model tersebut bergantung pada persepsi tiga dimensi dari teks dan penciptaan teks” (ibid.).
Zhu (1996) mengidentifikasi tiga tingkatan alamiah bahasa. Oleh karena itu, kerangka penelitian yang dilakukannya bersifat tiga tingkatan (tri-stratal). Ketiga dimensi dari kerangka SOM adalah: (i) komposisi linguistik, yang berkonsentrasi pada pembentukan pola leksikogramatis dan fonologis/grafologis; (ii) dinamika interaksional, yang menekankan pada interaksi, dan pertukaran makna (meaning exchange); (iii) dampak estetik, yang mana fokusnya “telah berubah ke arah manipulasi informasi dengan cara/metode tekstual” (p. 347) untuk mencocokkan efek yang dihasilkan oleh teks sumber dan teks terjemahan. Dalam kerangka SOM, setiap dimensi yang ada merupakan satu bagian dari keseluruhan, “dan tiap unit pada skala peringkat (rank scale) dapat berpotensi untuk meminjamkan dirinya sendiri kepada analisis yang komprehensif sebagaimana satu dimensi dalam SOM berkontribusi kepada komposisi kerangka tersebut pada satu peringkat yang lebih tinggi” (p. 346).
Fokus kita disini adalah dimensi kedua dari SOM, yakni dinamika interaksional. Distribusi informasi yang “fungsinya bersifat tekstual (contohnya pola-pola penyusunan theme-rheme), namun secara alami bersifat komunikatif” (p. 347), dipertimbangkan dalam dimensi ini. Pada praktik yang sesungguhnya, “penerjemahan dalam dimensi ini mempertimbangkan keseluruhan teks” (ibid.). Zhu berprinsip bahwa metode penerjemahan yang dapat diaplikasikan di dalam dimensi ini termasuk penerjemahan komunikatif yang diajukan oleh Peter Newmark (1981, 1988), dan kriteria utamanya adalah ekuivalensi dinamis yang diajukan oleh Eugene Nida (1964). Tugas utama penerjemahan pada tahap ini adalah “untuk menyampaikan informasi ideational dan interpersonal, tetapi tanpa perlu membeberkan signifikansi stilistik (stylistic significance) fungsi tekstualnya” (p. 347).
4.    Kesimpulan
          Di awal jurnal ini, penulis melacak kembali perkembangan SFL dan integrasinya dengan kajian penerjemahan. Kemudian, penjelasan dilanjutkan kepada beberapa istilah-istilah dasar dalam SFL dan analisis theme-rheme, dan penulis juga telah memberikan komentar pada beberapa kajian pada penggunaan SFL dalam analisis wacana/diskursus. Setelah itu penulis meninjau ulang beberapa kajian yang berhubungan dengan perkembangan tematik dan penerjemahan dengan fokusnya masing-masing dan hasil (outcome) yang dapat diidentifikasi.

Dalam kurun waktu yang lama, perkembangan dalam linguistik telah menstimulasi kajian penerjemahan. Toury (1995), dalam karya monumentalnya Descriptive Studies and Beyond, telah mengembangkan cabang kajian penerjemahan yang deskriptif dan sistematis untuk menggantikan kajian yang bersifat terpisah dan bebas. Toury menggunakan metode yang sistematis dan replikabel bagi pasangan ST-TT. Sebagaimana telah diajukan oleh beberapa ahli (seperti Munday, 2008), apa yang kita butuhkan adalah perangkat yang lebih objektif bagi kajian penerjemahan deskriptif. Hal ini akan bermanfaat bagi kita untuk menghubungkan SFL dengan kajian penerjemahan deskriptif bersama-sama, sebagaimana SFL “secara sistematis menghubungkan pilihan-pilihan linguistik dengan konteks sosial dan budaya” (Newmark, 1987; Munday, 2002, 2008).
Salah satu tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk membuktikan kesesuaian proses konstruksi sebuah model kajian penerjemahan berdasarkan pada SFG. Kajian lainnya dalam topik ini diharapkan untuk membangun sebuah model yang lebih objektif atau untuk mengembangkan deskripsi potensi makna yang multilingual bagi bahasa yang terlibat dalam penerjemahan (bahasa sumber dan bahasa sasaran), seperti apa yang telah dilakukan oleh Bateman et al. dalam penelitiannya. Setelah dilakukannya analisis ilmiah, maka tugas yang krusial selanjutnya adalah interpretasi/penafsiran hasil dari analisis tersebut.

Referensi

 
Austin, J. (1975). How to do things with words. Oxford: Claredon Press.
Baker, M. (1992). In other words: A coursebook on translation. London and New York: Routledge.
Bateman, J. A., Matthiessen, C. M. I. M., & Zeng, L. (1999). Multilingual language generation for multilingual software: A functional linguistic approach. Applied Artificial Intelligence: An International Journal, 13(6), 607-639.
Berry, M. (1995). Thematic options and success in writing. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 55-84). London and New York: Pinter.
Caffarel, A., Martin, J. R., & Matthiessen, C. M. I. M. (2004). Language typology: A functional perspective. Amsterdam: John Benjamins.
Catford, J. C. (1965). A linguistic theory of translation. London: Oxford University Presss.
Eggins, S. (1994). An introduction to systemic functional linguistics. London: Pinter.
Even-Zohar, I. (1978). The position of translated literature within the literary polysystem. In J. S. Holmes, J. Lambert, & R. Broeck (Eds.), Literature and translation: New perspectives in literary studies (pp. 117-127). Leuven: Acco.
Firbas, J. (1964). On defining the theme in functional sentence analysis. Traveaux Linguistiques de Prague, 1, 267-280.
Fries, P. H. (1995a). A personal view of theme. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 1-19). London and New York: Pinter.
Fries, P. H. (1995b). Themes, methods of development, and texts. On Subject and Theme: A Discourse Functional Perspective, 118, 317.
Fries, P. H., & Francis, G. (1992). Exploring theme: Problems for research. Occasional Papers in Systemic Linguistics, 5, 45-60.
Ghadessy, M. (1995a). Thematic development and its relationship to registers and genres. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 129-146). London and New York: Pinter.
Ghadessy, M. (Ed.) (1995b). Thematic development in English texts. London and New York: Pinter.
Ghadessy, M., & Gao, Y. (2000). Thematic organization in parallel texts: Same and different methods of development. Text, 20(4), 461-488.
Goatly, A. (1995). Marked theme and its interpretation in A. E. Houseman’s A Shropshire Land. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 164-197). London and New York: Pinter.
Halliday, M. A. K. (1961). Categories of the theory of grammar. Word, 17, 241-292.
Halliday, M. A. K. (1967). Notes on transitivity and theme in English, part II. Journal of Linguistics, 3: 177-274.
Halliday, M. A. K. (1970). Language structure and language function. In John Lyons (Ed.), New horizons in linguistics (pp. 140-164). Harmondsworth: Penguin.
Halliday, M. A. (1971). Linguistic function and literary style: An inquiry into the language of William Golding’s The Inheritors. In S. B. Chatman (Ed.), Literary style: A symposium (pp. 330-365). London and New York, Oxford University Press.
Halliday, M. A. K. (1985). An introduction to functional grammar. London: Edward Arnold.
Halliday, M. A. K. (1990). The construction of knowledge and value in the grammar of scientific discourse: With reference to Charles Darwin’s The Origin of Species. In C. de Stasio, M. Gotti, & R. Bonadei (Eds.), La rappresentazione verbale e iconica: valori estetici e funzionali (pp. 57-80). Milan: Guerini Studio.
Halliday, M. A. K. (1994). An introduction to functional grammar (2nd edition). London: Edward Arnold.
Halliday, M. A. K. (2009). The gloosy gandoderm: Systemic functional linguistics and translation. Chinese Translators Journal, 1, 17-26.
Halliday, M. A. K. & Matthiessen, C. M. I. M. (2004). An introduction to functional grammar (3rd edition). London: Edward Arnold.
Hasselgård, H. (1998). Thematic structure in translation between English and Norwegian. In S. Johanssion, & S. Oksefjell (Eds.). Corpora and cross-linguistic research (pp. 145-168). Amsterdam: Rodopi.
Hatim, B., & Mason, I. (1990). Discourse and the translator. London: Longman.
Hatim, B., & Mason, I. (1997). The translator as communicator. London: Routledge.
House, J. (1977). A model for translation quality assessment. Tübingen: Gunter Narr.
House, J. (1997). Translation quality assessment: A model revisited. Tübingen: Gunter Narr.
House, J. (2006). Text and context in translation. Journal of Pragmatics, 38, 338-358.
Kim, M., & Matthiessen, C. M. I. M. (forthcoming). Ways to move forward in translation studies: A textual perspective.
Koller, W. (1989). Lingvistisen lähestymistavan mahdollisuudet ja rajat käännöstieteessä (The possiblitilies and boundaries of linguistics in translation theory). In R. Jokisaari (Ed.). Kääntäminen ja kielten opetus (Translation and teaching languages) (pp. 19-36). Helsinki: Helsinki University Press.
Leech, G. N. (1969). A linguistic guide to English poetry. London: Longman.
Liu, X., & Yang, X. (2013). Thematic progression in English-Chinese translation of argumentative classics: A quantitative study of Francis Bacon’s ‘Of Studies’ and its 11 Chinese translations. Perspectives: Studies in Translatology, 21(2), 272-288.
Malmkjær, K. (2005). Linguistics and the language of translation. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Martin, J. R. (1995). More than what the message is about: English theme. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 223-258). London and New York: Pinter.
Martin, J. R., Matthiessen, C. M. I. M., & Painter, C. (2010). Deploying functional grammar. Beijing: Commercial Press.
Matthiessen, C. M. I. M. (2001). The environments of translation. In E. Steiner & C. Yallop (Eds.). Exploring translation and multilingual text production: Beyond content (pp. 41 – 124). Berlin: Mouton de Gruyter.
Matthiessen, C. M. I. M. (2014). Choice in translation: Metafunctional considerations. In Kerstin Kunz, Elke Teich, Silvia Hansen-Schirra, Stella Neumann & Peggy Daut (Eds.). Caught in the Middle – Language Use and Translation: A Festschrift for Erich Steiner on the Occasion of his 60th Birthday (pp. 271 – 333). Saarland: Saarland University Press.
Mubenga, K. S. (2010). Investigating norms in interlingual subtitling: A systemic functional perspective. Perspectives: Studies in Translatology, 18(4), 251-274.
Munday, J. (1997). Systems in translation: A computer-assisted systemic analysis of the translation of García Márquez. (Unpublished doctoral dissertation). University of Bradford, Bradford.
Munday, J. (2001). Introducing translation studies: Theories and applications. London and New York: Routledge.
Munday, J. (2002). Systems in translation: A systemic model for descriptive translation studies. In T. Hermans (Ed.), Crosscultural transgressions: Research models in translation studies II: Historical and ideological issues (pp. 76-92). Manchester: St Jerome.
Munday, J. (2008). Problems of applying thematic analysis to translation between Spanish and English. Cadernos de Tradução, 1(3), 183-213.
Newmark, P. (1981). Approaches to translation. Oxford and New York: Prentice Hall.
Newmark, P. (1987). The use of systemic linguistics in translation analysis and criticism. In R. Steele, & T. Threadgold (Eds.), Language topics: Essays in honor of Michael Halliday (Vol. 1). Amsterdam and Philadelphia: John Benjamins.
Newmark, P. (1988). A textbook of translation. Oxford and New York: Prentice Hall.
Newmark, P. (1991). About translation. Clevedon: Multilingual Matters.
Nida, E. (1964). Towards a science of translation: With special reference to principles and procedures involved in Bible translating. Leiden: Brill.
Steiner, E. (1992). Some remarks on a functional level for machine translation. Language Sciences, 14(4), 623-659.
Steiner, E. (1998). A register-based translation evaluation. Target, 10 (2): 291-318.
Steiner, E. (2002). Grammatical metaphor in translation: Some methods for corpus-based investigations. In H. Hasselgård, S. Johansson, B. Behrens, & C. Fabricius-Hansen (Eds.). Information structure in a cross-linguistic perspective (pp. 213-228). Amsterdam: Rodopi.
Steiner, E. (2004). Translated texts: Properties, variants, evaluations. Peter Lang.
Steiner, E. (2005). Halliday and translation theory — enhancing the options, broadening the range, and keeping the ground. In R. Hasan, C. M. I. M. Matthiessen, & J. Webster (Eds.). Continuing discourse on language: A functional perspective (Volume 1) (pp. 481-500). London: Equinox.
Taylor, C. (1993). Systemic linguistics and translation. Occasional Papers in Systemic Linguistics 7, 87-103.
Teich, E. (2001). Towards a model for the description of cross-linguistic divergence and commonality in translation. In E. Steiner & C. Yallop (Eds.). Exploring translation and multilingual text production: Beyond content (pp. 41 – 124). Berlin: Mouton de Gruyter.
Teich, E. (2003). Cross-linguistic variation in system and text: A methodology for the investigation of translations and comparable texts. Berlin and New York: Mouton de Gruyter.
Trosborg, A. (2002). Discourse analysis as part of translator training. In C. Schäffner (Ed.). The role of discourse analysis for translation and in translator training (pp. 9-52). Clevedon: Multilingual Matters.
Toury, G. (1980). In search of a theory of translation. Tel Aviv: The Porter Institute.
Toury, G. (1995). Descriptive translation studies and beyond. Amsterdam: Benjamins.
Vasconcellos, M. H. de. (2008). Text and translation: The role of theme and information. Ilha do Desterro: A Journal of English Language, Literature in English and Cultural Studies, 27, 45-66.
Ventola, E. (1995). Thematic development and translation. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 85-104). London and New York: Pinter.
Venuti, L. (1995). The translator’s invisibility: A history of translation. London and New York: Routledge.
Weinrich, H. (1993). Textgrammatik der deutschen Sprache. Mannheim, Leipzig, Wein and Zürich: Duden Verlag.
Whittaker, R. (1995). Theme, processes and the realization of meanings in academic articles. In M. Ghadessy (Ed.). Thematic development in English texts (pp. 105-128). London and New York: Pinter.
Yao, W. (2007). Norms, polysystems and ideology: A case study. The Translator, 13(2), 321-339.
Zhu, C. (1993). Structure of meaning (SOM): Towards a three-dimensional perspective on translating between Chinese and English. (Unpublished doctoral dissertation). University of Nortingham, Nortingham.
Zhu, C. (1996). From functional grammar and speech act theory to structure of meaning: A three-dimensional perspective on translating. Meta, XLI(3), 338-355.
Zhu, C. (2008). Fanyi tanwei: Yuyan, wenben, shixue. Jiangsu: Yilin Press.

1 komentar: