MENGAJARKAN BAHASA INGGRIS MELALUI SASTRA: PUISI THE WASTE LAND
DALAM KELAS BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA (ESL)
Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh:
Denny Nugraha
Jurusan Tadris Bahasa Inggris
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Pilar Agustin Llach
Abstrak
Artikel ini diniati untuk menunjukkan bagaimana sastra dapat
digunakan dalam kelas bahasa untuk mengembangkan wawasan bahasa Inggris
pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau English as Second Language (ESL). Pertama, penulis menelaah
perkembangan sastra dalam kelas bahasa. Kedua, penulis memperhatikan beberapa
alasan/landasan yang mendukung penggunaan sastra dalam kelas. Ketiga, penulis memperhatikan
peran aktifitas membaca dalam perkembangan bahasa, dan memperhatikan cara puisi
diajarkan sebagai salah satu pendekatan kompetensi komunikatif dalam bahasa
Inggris. Artikel ini diakhiri dengan sebuah proposal instruksional untuk
pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL).
1. Pendahuluan
Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan peran yang relevan sastra
sebagai sumber pengajaran bahasa kedua. Dalam hal ini fokus akan ditempatkan
pada pengajaran yang dapat guru bahasa lakukan lewat puisi The Waste Land untuk
membantu siswa mengembangkan kecakapan mereka dalam berbahasa Inggris. Sastra
memberikan banyak kesempatan linguistik kepada pembelajar bahasa dan
memungkinkan guru untuk mendesain aktifitas-aktifitas yang bersifat
“berdasarkan pada materi yang mampu menstimulasi minat dan keterlibatan yang
lebih besar” daripada bahan non-sastra atau yang disebut teks informatif (Carter
dan Long 1991:3). Tujuan dari aktifitas-aktifitas ini berfokus pada bentuk dan
konten dari teks sebagai acuan, dan menyediakan stimulus/rangsangan bagi interaksi
yang berlangsung antara teks dengan para siswa, dan dengan guru (Duff dan Maley
1990:3).
Artikel ini disusun dengan pendekatan komunikatif kepada pengajaran
bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kompetensi komunikatif hendaknya
menjadi tujuan akhir dari aktifitas bahasa apapun. Relevansi sastra dalam
pendekatan ini adalah, di satu sisi, sastra menyampaikan suatu pesan. Hal ini
merupakan sebuah cara komunikasi antara penulis dengan pembaca. Di sisi yang lain,
sastra memberikan perhatian yang khusus pada bentuk (form), dan dalam hal ini dapat
membantu siswa berefleksi mengenai bahasa, prinsip dan tujuan yang lain dari
metode komunikatif. Hal ini tentu penting bagi siswa untuk mengembangkan
kompetensi linguistik mereka dengan belajar bagaimana untuk mengungkapkan makna
dalam bahasa Inggris, tapi juga mereka dapat mengembangkan kompetensi
komunikatif mereka, yang akan memungkinkan mereka untuk mengirimkan pesan,
untuk mempergunakan bahasa untuk berinteraksi, untuk berkomunikasi dengan orang
lain, yang pada akhirnya, merupakan fungsi dasar dari bahasa. Penggunaan bahasa
sebagai sebuah alat mengajar didukung oleh fakta-fakta yang telah disebutkan
diatas, yaitu, karena sastra membekali siswa dengan wawasan linguistik yang
otentik (juga sosiolinguistik) dan materi yang bersifat kultural, dan juga karena
sastra memotivasi siswa untuk berinteraksi.
Teks sastra dipilih berdasarkan tradisi modernisme yang tidak
pernah digunakan dalam referensi sebagai sumber pengajaran bahasa. Puisi The
Waste Land sangat memenuhi syarat untuk pengajaran karena potensi
pedagogisnya yang tinggi baik pada kontennya maupun pada bentuknya. Ide-ide dan
filosofi modernisme yang mendasari penggunaan puisi ini menghasilkan
ketertarikan yang sangat tinggi di kalangan siswa, yang mungkin sangat baik
bagi mereka dimulai dari memperkenalkan mereka dengan penyair atau narator
puisi tersebut.
Artikel ini dibagi kedalam tiga bagian utama. Yang pertama adalah teori
dan penjelasan mengenai kegunaan sastra secara umum, dan puisi khususnya, yang
sedang dijadikan sebagai sumber pengajaran bahasa kedua. Bagian yang kedua
berhubungan dengan penelaahan alasan-alasan mengapa puisi karya T.S. Eliot The
Waste Land dirasa sesuai bagi pendekatan yang digunakan (kompetensi
komunikatif). Bagian terakhir adalah teknis praktik dan pengumpulan sejumlah
saran untuk aktifitas kelas yang didasarkan dengan fungsi puisi dalam meningkatkan
taraf pembelajaran bahasa yang diiringi dengan kesadaran bersastra.
2. Sastra dalam Pengajaran Bahasa
2.1.
Perkembangan
Sejarah
Sastra dan bahasa berhubungan erat. Hal ini adalah fakta yang mana tidak
ada seorangpun yang bisa membantahnya. Sastra diangkat oleh bahasa, dan sastra
merepresentasikan satu dari banyak penggunaan bahasa. Bahasa dan analisis
linguistik bisa juga digunakan untuk mengakses sastra dari sudut pandang siswa.
Brumfit dan Carter (1986:1) telah menekankan peran sastra sebagai “sekutu
bahasa”. Teknik ini bukan berarti novel saja, karena sastra telah menjadi
sebuah alat mengajar yang digunakan dalam metode pengajaran membaca yang
berbeda. Namun, disini perspektif itu dirubah untuk memberikan relevansi yang
lebih signifikan kepada teks sastra sebagai karya seni. Pertama, mari kita
berangkat dari sekitar peran yang berubah dari sastra dalam tradisi pengajaran
bahasa kedua.
Dalam metode penerjemahan tata bahasa (Grammar-Translation Method), dulu sastra merupakan komponen yang sentral.
Teks sastra dari bahasa target dibaca dan diterjemahkan, digunakan sebagai
contoh-contoh tulisan yang baik dan dijadikan sebagai “ilustrasi aturan-aturan
tata bahasa” (Duff dan Maley 1990:3). Fokus dari metode pengajaran ini berada
pada bentuk, dengan mempelajari aturan-aturan tata bahasa dan poin-poin
leksikal sebagaimana muncul dalam teks. Dulu tidak ada minat/ketertarikan
sastra, pun juga minat/ketertarikan pada konten di kalangan siswa. Setelah
metode ini dianggap gagal dan ditinggalkan, teks sastra juga dilupakan oleh kebanyakan
guru bahasa.
Bagi pendekatan struktural pada pengajaran bahasa, sastra tidak
dianggap sebagai sebuah alat, karena sastra merepresentasikan tradisi lama.
Metode fungsional dinamis mengabaikan sastra, karena hal terpenting dalam
metode ini adalah pada komunikasi dan sedangkan sastra hanya dapat menghadirkan
sampel fitur bahasa yang otentik. Sastra tidak dipertimbangkan dengan baik
untuk berkesempatan mempunyai fungsi komunikatif maupun untuk menjadi contoh
yang otentik dari penggunaan bahasa.
Meskipun begitu, dalam beberapa dekade terakhir minat/ketertarikan
dalam sastra sebagai salah satu sumber pengajaran bahasa yang berharga telah
bangkit kembali (Duff dan Maley 1990:3). Hal ini berkesesuaian dengan arus baru
dalam pendekatan komunikatif yang melihat bahwa membaca sastra merupakan
realisasi sempurna dari prinsip dan tujuan pendekatan tersebut, yaitu untuk mengembangkan
kompetensi komunikatif, yang mengajarkan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa
kedua dan menjabarkan situasi yang komunikatif, otentik dan nyata (Sanz dan
Fernandez 1997).
Membaca sastra adalah aktifitas yang komunikatif dan teks sastra
adalah yang sekarang ini dapat menyangkal bahwa hal tersebut bukan merupakan
fungsi otentik dari penggunaan bahasa. Banyak penulis, diantaranya Brumfit dan
Carter (1986) dan Lazar (1993), menolak pemikiran dari eksistensi bahasa yang
spesifik dan mereka mengklaim bahwa bahasa juga digunakan dalam teks-teks
sastra bahasa yang umum dengan konsentrasi sifat-sifat linguistik yang tinggi
seperti metafora, kiasan, sajak, leksis, dan pola-pola sintaksis yang tidak
biasa, dll (lihat Lazar 1993:7 untuk informasi lebih lanjut tentang
karakteristik kegunaan kesusastraan bahasa). Hal-hal ini bukan merupakan sastra
yang spesifik karena ciri-ciri ini juga nampak dalam penggunaan bahasa yang
biasa dan juga dalam sajak kanak-kanak, peribahasa atau slogan reklame, yang hanya
menyebutkan sedikit contoh, namun, dalam sastra hal-hal ini menunjukkan fenomena
kesusastraan bahasa. Oleh karena itu, kita berbicara mengenai kegunaan kesastraan
bahasa.
2.2.
Menelaah Alasan
untuk Menggunakan Sastra dalam Kelas Bahasa
Kita dapat menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria utama yang
mendukung penggunaan sastra sebagai alat pengajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua (ESL) (Duff dan Maley 1990: 6). Pada tempat pertama, kriteria
linguistik mempertahankan bahwa sastra hendaknya digunakan dalam pengajaran
bahasa, karena sastra dapat menyediakan siswa sampel bahasa yang otentik dan
asli, dan juga dengan sampel yang nyata dari sebuah cakupan gaya (style)
yang luas, jenis-jenis teks dan registers. Hal ini sangat penting untuk
pembelajar bahasa asing agar dilatih dalam keanekaragaman register, gaya
(style) dan genre supaya mampu untuk melihat fungsi masing-masing
keanekaragaman fitur bahasa tersebut. Manifestasi yang berbeda dari bahasa ini
tidak hanya berbeda secara linguistik, namun juga secara sosial, hal itu semua
mempunyai fungsi komunikatif sosial (Sanz dan Fernandez 1997). Hal ini
berhubungan dengan gagasan kecukupan. Gagasan tersebut merujuk kepada fakta
bahwa pesan perlu untuk disampaikan dengan benar secara linguistik dan sesuai
dengan situasi, dan tidak hanya memandang kontennya, tetapi juga bentuknya
(lihat Llobera 1995, Sanz dan Fernandez 1997), Cassany (1999) untuk pemikiran
yang lebih detail pada gagasan kecukupan dan hubungannya dengan kompetensi
komunikatif).
Kriteria yang kedua merupakan metodologi dan merujuk kepada fakta
bahwa sebuah teks sastra mempunyai interpretasi yang banyak, dengan teman
sesama siswa dan hal ini menunjukkan kepada interaksi yang nyata dan dapat termotivasi
dengan teks, dengan teman sesama siswa dan dengan guru (Widdowson 1983).
Interaksi adalah salah satu dari dasar-dasar pendekatan komunikatif yang
mempertahankan bahwa dengan hanya dengan berinteraksi dan berkomunikasi-lah bahasa
itu dipelajari (Sanz dan Fernandez 1997). Dari sudut pandang yang bersifat
metodologis, aspek-aspek lebih lanjut yang mendahulukan penggunaan sastra dalam
kelas bahasa adalah peran aktif pembelajar dan teks sastra sebagai fokus
perhatian. Siswa menjadi aktif, mandiri, dan berpusat kepada proses belajar.
Satu aspek dari kepentingan yang spesial dalam pendekatan komunikatif, dan yang
secara baik sekali direfleksikan dalam puisi, adalah gagasan bahwa sastra
mensuplai siswa dengan informasi kultural tentang negara yang bahasanya sedang
mereka pelajari (Lazar 1993: 16). Persajakan/puisi itu fiksional dan, oleh
karena itu, kita harus lebih berhati-hati ketika memperlakukan poin ini di
kelas, karena terkadang hubungannya dengan dunia nyata agak lemah/kendur. Respon
kita kepada aspek kultural sebagaimana direfleksikan dalam sastra hendaknya
bersifat kritis (Lazar 1993: 17).
Akhirnya, kriteria motivasional adalah keterkaitan yang baik sekali
karena teks sastra menunjukkan perasaan yang nyata dari sang penulis dan hal
ini menumbuhkan motivasi yang kuat dalam diri siswa. Bersama teks sastra, siswa
mengakses pengalaman pribadi ini, jika siswa disentuh dengan tema dan kemudian terprovokasi,
siswa akan menjadi mampu untuk menghubungkan apa yang sedang mereka baca kepada
dunianya, kepada apa yang mereka ketahui dan rasakan. Mendesain aktifitas yang
merangsang dan memotivasi siswa adalah tantangan terbesar bagi para guru
bahasa, dan sastra dalam hal ini mempunyai kekuatan memotivasi yang kuat oleh
karena rangsangannya kepada pengalaman pribadi.
2.3.
Membaca sebagai
Pendukung Pengembangan Bahasa
Klaim yang mendasari penggunaan sastra untuk mengembangkan
linguistik dan kompetensi komunikatif adalah asumsi bahwa membaca merupakan
salah satu cara yang terbaik mempelajari sebuah bahasa. Entah itu secara sadar
atau tidak sadar, membaca membantu pembelajar bahasa kedua untuk mendapatkan
tidak hanya kosa kata dan makna-makna yang lebih dan penggunaan kata-kata yang
sudah diketahui (kompetensi leksikal), tetapi juga berkontribusi untuk
mengembangkan pengetahuan sintaksis (Brumfit dan Carter 1986). Krashen (1989)
dan Coady (1997) berpendapat bahwa melalui membaca ekstensif (extensive reading), siswa memperoleh
kebanyakan kosa kata mereka, dan pengajaran memainkan peran yang agak tidak
signifikan sebagaimana jumlah kata-kata yang dipelajari itu diperhatikan.
Paribakht dan Wesche (1997) juga mempunyai opini yang sama. Bagi Grobe dan
Stoller (1997), membaca berkontribusi secara baik kepada pengembangan kosa kata
dan juga kepada pemahaman menyimak (listening
comprehension).
Oleh karena itu, membaca karya sastra bernilai positif dalam
beberapa hal. Aktifitas ini hadir dengan materi bahasa yang otentik dan
bervariasi, juga menyediakan situasi komunikatif terkontekstualisasi, pola
interaksi sosial yang nyata, dan fungsi bahasa (Collie dan Slater 1987: 2),
yang dalam hal ini juga mencermati peran sentral pembelajar dalam proses
belajar dan membangkitkan interaksi dalam kelas, serta memotivasi mereka dengan
mendorong mereka untuk menghubungkan apa yang sedang dibaca kepada pengalaman
mereka sendiri karena dengan membaca sastra mendatangkan respons emosional
(Collie dan Slater 1987: 2). Aktifitas ini juga diketahui berkontribusi besar
untuk mengembangkan kemampuan membaca lanjutan seperti “menyimpulkan makna dan
menggunakan item-item leksikal yang tidak familiar”, “memahami nilai
komunikatif (fungsi) dari kalimat dan ujaran”, “mengenali suatu sistem
penulisan bahasa”, dan sebagainya (Grellet 1981: 4-5). Menggunakan sastra untuk
mengajarkan bahasa tidak hanya berkontribusi kepada pemahaman linguistik yang
lebih baik, tetapi juga perkembangan kemampuan kreatif, dan kemahiran berbahasa
yang lebih baik, dan juga memberikan kontribusi penting kepada apresiasi
kesusastraan (Ramsaran 1983: 42).
2.4.
Puisi dalam
Pengajaran Bahasa Kedua
Diantara
jenis-jenis karya sastra yang digunakan dalam pengajaran bahasa, puisi
merupakan salah satu dari yang sering muncul (diajarkan). Dikarenakan oleh
komposisinya yang pendek, sangat cocok untuk satu pelajaran kelas, strukturnya
dan karakteristik fitur-fitur linguistiknya yang tidak menentu (pola sintaksis
yang tidak biasa, kata-kata polisemi, aliterasi, dll). Puisi telah menjadi alat
favorit bagi para guru bahasa. Karakter puisi yang evokatif, imajeri, dan daya
tariknya kepada perasaan dan pengalaman pribadi membuat puisi menjadi sangat
menarik dan menyenangkan bagi para pembelajar bahasa kedua. Khususnya, puisi
dapat mengarah kepada ekspresi kreatif yang menarik dalam bahasa asing dan
puisi biasanya memancing respons yang kuat dari pembaca yang mana akan
memotivasi mereka untuk membaca lebih lanjut (Collie dan Slater 1987: 226).
Pentingnya
puisi dan kebermanfaatannya dalam kelas bahasa terletak dalam fakta bahwa puisi
berbeda dari bahasa normal. Puisi mempunyai beberapa cara yang tidak biasa
dalam menyusun kata-kata, atau mengatribusikan makna-makna imajinatif tertentu
kepada kata-kata atau mengkombinasikan bunyi-bunyi dalam cara musikal yang
tidak biasa (fonologis, leksikal, sintaksis, semantis, grafologis, dan
penyimpangan gaya (Ramsaran 1983: 36). Guru bahasa hendaknya memanfaatkan gejala
penyimpangan bahasa ini untuk membangkitkan kesadaran berbahasa pembelajar
terhadap cara dimana bahasa dapat diadaptasikan atau diubah untuk memenuhi
tujuan-tujuan komunikatif yang berbeda.
3. Alasan Mengapa Memilih Puisi The Waste Land
“Kunci sukses
dalam menggunakan sastra dalam kelas ESL nampaknya bertumpu pada karya sastra
yang dipilih” (McKay 1986: 193). The
Waste Land menawarkan kesempatan pedagogis yang bagus untuk bahasa dan
kegunaannya yang luar biasa, dan filosofi kontroversial yang dikandungnya.
3.1.
Konten
Dari sudut pandang analisis konten, puisi
menunjukkan serangkaian fitur-fitur yang membuatnya sangat menarik bagi kelas
bahasa. Pertama, puisi merupakan salah satu karya sastra yang paling relevan.
Secara literal dan kultural puisi menandai sebuah titik balik. Puisi
mempersaingkan standar yang telah dibangun dan membawa sebuah aliran baru:
modernisme, yang menginvasi semua bidang manifestasi kultural, tidak hanya
dalam sastra, tetapi juga dalam arsitektur atau seni lukis. Puisi ini merubah “wajah
budaya abad ke-20” (Selby 1999: 7). Setelah perang dunia, Eropa, bidang-bidang
ini dan orang-orangnya ditinggalkan begitu saja. Kengerian perang, kehancuran
dan kekacauan secara fisik, emosional, politik dan kultural yang
ditinggalkannya menginspirasi The Waste
Land. T.S. Eliot, penulis puisi tersebut, seperti layaknya sejawat yang
sejaman dengannya, yakin bahwa budaya lama dan nilai-nilai sosial, norma-norma,
dan keyakinan telah tercerai-berai oleh perang dan pengalaman-pengalaman baru yang
timbul sesudahnya (Selby 1999: 7). Hal-hal tersebut tidak lagi sesuai dan
perasaan kehilangan/kerugian dan ketertinggalan telah menggantikan hal-hal
tersebut. Modernisme dapat dibandingkan pada pemuda, karena dalam kehidupan
sekarang ini ada banyak pengalaman-pengalaman baru yang terjadi. Para pembelajar
mungkin merasa puisi menceritakan kehidupan mereka dalam beberapa cara, cara
mereka merasakan pikiran dan perasaan mereka. Mereka mungkin mengidentifikasi penyair/penulis
puisi dan merasakan apa yang sedang penulis ceritakan mereka dari kecemasan
dalam beberapa momen hidup mereka; “penting untuk memilih tema-tema yang mana
para siswa dapat mengidentifikasinya” (McKay 1986: 194). Disini terletak
relevansi dan ketertarikan dari The Waste
Land. Bacaannya menciptakan dan menuntut tingkatan keterlibatan personal
yang tinggi dari siswa. Puisi memungkinkan untuk menghasilkan banyak
interpretasi, karena puisi menunjukkan serangkaian bagian-bagian yang misterius
dan simbolis yang mana diperuntukkan bagi para pembaca untuk menginterpretasi
berlandaskan pada pengalamannya sendiri, pada “struktur mental dan emosional”
(Traversi 1976: 14), disini kita melibatkan para siswa dengan misteri dan
simbol-simbol yang sepenuhnya ada dalam puisi.
Walaupun karakternya yang fiktif, The Waste Land adalah sebuah cara yang
baik untuk meningkatkan pengayaan kultural para siswa dengan menyediakan mereka
wawasan masa lalu (tradisi) dan budaya modern dari “negara yang bahasanya
sedang dipelajari” (Collie dan Slater 1987: 4). Salah satu kiasan puisi yang
paling relevan dan menarik adalah tradisi, oleh karena itu, budaya dan masa
lalu memainkan peran penting dalam puisi The
Waste Land.
Puisi The
Waste Land, oleh karena itu relevan secara kultural dan literal, dalam
persesuaiannya dengan latar belakang budaya para siswa. Puisi ini memotivasi,
dan memungkinkan untuk menjadi wahana pengayaan kultural dan keterlibatan
personal. Para siswa dapat menggambarkan puisi tersebut dan menghubungkannya
kepada pengalaman pribadi mereka. Mereka menciptakan puisi mereka sendiri
sebagaimana mereka berinteraksi
dengan puisi itu, dan interaksi ini yang kemudian menyiratkan keterlibatan
dalam membaca puisi.
3.2.
Bentuk
Puisi ini merupakan puisi yang panjang,
yang susunannya agak terpisah-pisah. Hal ini memungkinkan guru untuk mendesain
aktifitas-aktifitas dan mengorganisasikan kelas-kelas pada dua level. Di satu
sisi, masing-masing individu memisahkan puisi dapat digunakan untuk
masing-masing satu pelajaran, contohnya sebagaimana diceritakan oleh Eliot,
atau guru mungkin menemukan pemisahan alternatif; di sisi yang lain, puisi
mungkin digunakan selama beberapa sesi lebih dari satu atau dua minggu.
Kelebihannya adalah bahwa puisi tersebut menceritakan banyak cerita yang
berbeda dalam kerangka cerita yang lebih panjang, seperti “superstory”, dan hal ini dapat dimanfaatkan dengan mengembangkan latihan-latihan
yang berhubungan dengan sub-tema dan tema umum. Sebagaimana Eliot mengakui
dirinya sendiri dalam puisi tersebut, bahwa puisi ini merupakan “timbunan
gambar-gambar yang rusak”, dimana suara-suara dan karakter-karakternya menyusul
satu sama lain dan saling mengingatkan. Susunan novel ini dan representasi
pengalamannya sangat memotivasi dan akan melibatkan para siswa dalam
menguraikan makna komunikatif yang sejati.
Gabungan
antar katanya yang tidak biasa (collocation)
atau makna aneh yang diatribusikan kepada beberapa kata atau ekspresi: “April
adalah bulan yang paling sial”, “mengaduk akar yang tumpul dengan hujan musim
semi”, “musim dingin membuat kita tetap hangat” dan sebagainya dapat digunakan
oleh guru untuk mendorong siswa berefleksi pada asal dari bahasa yang digunakan
dan pada tujuan-tujuan berbeda yang dapat dicapai dengan memodifikasi susunan
kata reguler, mengubah makna sebuah kata yang diprediksi atau menemukan
kombinasi baru dua item leksikal (lihat Reeves 1994 untuk contoh yang lebih
banyak dan penjelasan lebih lanjut mengenai “pengasingan linguistik” dan “daya
tarik linguistik”).
Alasan
lain mengapa kita memilih untuk menggunakan The
Waste Land adalah bahwa puisi ini merupakan sebuah karya kontemporer dan
oleh karena itu, bahasanya modern dan dapat dimengerti. Kombinasi bahasa-bahasa
yang berbeda (Latin, Italia, Jerman, dll) yang nampak dalam puisi ini juga
sangat menarik bagi para siswa. Guru bisa mendorong mereka berefleksi tentang
tujuan menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda tersebut dan efek yang didapat
oleh kegiatan ini, membantu mereka untuk mengembangkan pengetahuan mereka
mengenai aturan-aturan fungsi sosial, bersama dengan aturan-aturan tata bahasa.
Kita sadar
akan linguistik dan kesulitan konseptual dari puisi. Fakta bahwa terdapat
area-area yang sulit, yang dapat siswa atasi, sangat menantang dan memotivasi
dan hal ini merupakan sebagai dorongan lebih lanjut untuk membaca dan memahami
puisi. Hal ini penting untuk memperjelas bahwa para ahli menunjukkan
kecenderungan untuk teks yang otentik dan tidak disederhanakan/dimudahkan,
karena teks itu lebih bernilai dari sudut pandang linguistik, karena teks
tersebut menyediakan bahasa yang nyata dalam konteks dan stimulus yang natural,
dengan eksplorasi dan diskusi terhadap konten, yang mengarah kepada pengujian
bahasa (Brumfit dan Carter 1986: 15). Grellet (1981: 7) mengklaim bahwa
kesulitan tidak berada pada teks itu sendiri melainkan pada latihan-latihan yang
dipersyaratkan untuk siswa.
Sastra
dapat meningkatkan pemahaman membaca sisw ke level yang lebih tinggi, karena
kemampuan membaca terletak pada interaksi antara pembaca dan penulis, interaksi
yang dimediasi oleh teks (McKay 1986: 192). Semakin teks itu memotivasi dan
menyenangkan, maka interaksi tersebut akan menjadi semakin intens, nyata, dan
kuat (Brumfit dan Carter 1986: 15). Ketika membaca The Waste Land, para siswa berkomunikasi, menerjemahkan makna-makna
dan berefleksi pada bahasa dan strategi komunikasi dalam bahasa asing, ini
merupakan “faktor yang krusial dalam perkembangan kemampuan belajar bahasa”
(Brumfit dan Carter 1986: 14). Cassany (1999) kurang lebih mengatakan dan
mengklaim bahwa membaca membantu mengembangkan kemampuan menulis dengan memacu
menulis imajinatif siswa dan dengan menyediakan mereka dengan contoh-contoh
penggunaan bahasa yang nyata.
4. Proposal Aktifitas untuk Mengimplementasikan Puisi The Waste
Land
Aktifitas ini
diharapkan untuk menjadi beberapa kerangka yang menuntun kepada penggunaan The Waste Land sebagai sumber pengajaran
bahasa. Aktifitas ini diperuntukkan bagi pembelajar bahasa Inggris pada level intermediate-advanced setingkat level
universitas (mahasiswa). Mengikuti Maley (1996) kita akan membagi latihan kita
kedalam empat bagian utama: merespons, menganalisis, menulis, dan eksperimen
lebih lanjut.
Merespons :
aktifitas
ini adalah apa yang secara tradisional disebut sebagai aktifitas pra-membaca:
1.
Pikirkanlah bersama seorang teman sebuah situasi dimana anda merasa
sedih, atau bahkan hancur. Hal ini mungkin memberikan kenaikan respons yang
banyak, contoh: ketika ditinggalkan oleh seseorang yang anda dicintai, ketika
seseorang dalam keluarga meninggal, atau ketika gagal dalam sebuah ujian.
2.
Menarik kesimpulan dari judul. Menurut anda puisi tersebut tentang apa?
Bekerjalah berpasang-pasangan. Disini kita mungkin mengharapkan jawaban
seperti: sebuah perang, epidemik yang membunuh banyak orang di sebuah wilayah
kecil, kehancuran ladang atau tanaman oleh musuh, pembuangan keluarga,
kemiskinan karena kurangnya hujan dan tanaman yang kekeringan.
3.
Pikirkan hal-hal yang mungkin menyebabkan keadaan “terbuang/pembuangan”
sebuah daratan, atau seseorang. Pikirkan dengan seluruh kelas, guru
menuliskannya di papan tulis. Siswa mungkin memberikan kata-kata seperti
kekerasan, banjir, longsor, kerja keras, stres, tensi, dan sebagainya.
4.
Bersama teman anda, pikirkan konteks umum diluar dari yang mana
menjadikan sebuah puisi yang bisa jadi seperti: negara, zaman, situasi pribadi
penulis, peristiwa politik dan ekonomi, dll. Misalnya, siswa mungkin berpikir
seorang anggota keluarga paruh baya, yang ladangnya telah dihancurkan oleh banjir
bandang dan menderita kelaparan. Seluruh distrik dan negara, misalnya Inggris,
menderita sebuah epidemi karena banjir, dan penulis puisi, anak dari keluarga
miskin memutuskan untuk
menulis ceritanya.
5.
Baca puisi tersebut di rumah.
Dengan aktifitas-aktifitas awal ini, guru
mempermulus jalan latihan membaca dan menuntun siswa kepada apa yang akan
mereka temui hari-hari berikutnya. Hal ini penting bahwa siswa memprediksikan
apa yang akan datang dan bahwa mereka mempunyai beberapa ide sebelumnya tentang
apa yang akan mereka baca. Hal ini merupakan sebuah strategi yang penting tidak
hanya dalam pembelajaran bahasa, tetapi juga dalam komunikasi (Maingay 1983).
Menganalisis
: aktifitas
pada bagian ini mengarah kepada sebuah analisis puisi yang lebih mendalam baik
dari segi konten maupun bentuk yang dicermati: penglihatan lokal dan global.
Pertanyaan-pertanyaan
Pemahaman Umum (pendekatan global)
6.
Mengenai apa puisi tersebut? Dimana puisi itu diciptakan? Apa tema sentral
dari masing-masing bagian puisi tersebut? Disini guru hendaknya menyediakan siswa
dengan beberapa informasi latar belakang tentang zaman ketika puisi tersebut
dibuat dan peristiwa-peristiwa yang bertempat di Eropa pada waktu itu.
Menyediakan informasi latar belakang kepada siswa merupakan bantuan yang sangat
bagus untuk meningkatkan pemahaman mereka seputar teks, dan demikian,
meningkatkan efek pedagogis aktifitas-aktifitas yang dilakukan (Lazar 1993:
38). Terdapat beberapa cara menghadirkan informasi ini, sebagai sebuah kuliah
kecil, sebagai sebuah bacaan atau pemahaman mendengarkan atau sebagai proyek
penelitian untuk diimplementasikan oleh para siswa (Lazar 1993: 38).
Analisis lokal
7.
Puisi The Waste Land mempunyai
keanehan, sebagaimana yang telah anda amati, “tercerai-berai” dalam beberapa
pecahan tematik dan struktural. Dengan seorang teman, identifikasikanlah
pecahan-pecahan berbeda ini dan pikirkanlah sifat atau ekspresi yang dapat
mendefinisikan pecahan tertentu. Pecahan-pecahan yang mungkin mereka
identifikasi bisa jadi: penguburan kematian, raja bajak laut buntung,
keberlaluan musim dan menjelang musim dingin yang lambat dan sedih, dll.
Kata-kata atau ekspresi yang digunakan untuk mendeskripsikan pecahan-pecahan
ini bisa seperti kematian, kesepian, kesedihan, kesendirian, kedinginan.
8.
a) Semua kelas, pikirkanlah beberapa ekspresi atau sifat-sifat yang
menjabarkan perasaan-perasaan bahwa puisi tersebut memprovokasi anda.
b) Perang, perpecahan,
kematian, kesepian, kesedihan, kehancuran, kesendirian adalah beberapa perasaan
yang mungkin puisi coba untuk timbulkan didalam diri pembaca. Temukan bersama
temanmu, frase, metafora atau kiasan dalam puisi yang paling memprovokasi
perasaan tersebut dalam diri anda dan seseorang yang anda komentari sebelumnya
pada 8a, atau frase-frase yang penulis kehendaki untuk memprovokasi anda dengan
perasaan-perasaan yang telah disebutkan tersebut.
c) Cobalah cari, dengan
bantuan kamus, lawan dari kata-kata yang anda gunakan untuk mendefinisikan
perasaan-perasaan yang telah anda dapatkan ketika membaca The Waste Land.
Dengan
latihan-latihan ini, kita menggunakan pemecahan yang berulang dari puisi dan
kiasan yang diulang kepada kematian dan kesepian untuk mengembangkan kompetensi
leksikal para siswa kita. Latihan kosakata disini berdasarkan pada
perasaan-perasaan kesedihan dan kesendirian yang pastinya akan memdorong siswa
berinteraksi didalam kelas dan dalam kelompok.
9.
a) Lihatlah baik-baik pada bagian pertama dari puisi The Waste Land, “burial death”
dan cobalah untuk membatasi tema utama. Petunjuk: pikirkanlah ide yang berulang
dari kematian dan kehancuran dan pertimbangkan bait : “mixing memory and desire” (baris 2-3). Bekerjalah berpasangan.
Mereka mungkin menunjukkan secara tepat sebagaimana tema-tema yang berulang
dari bagian pertama sebagai berikut: ketakutan kematian, tetapi kesadaran akan
kehadirannya dalam kehidupan modern, kehidupan dibawah bumi, harapan untuk masa
depan, tradisi, kesepian spiritual, cinta.
b) Temukan tema-tema yang
baru saja bicarakan di segmen-segmen puisi yang tersisa dan cobalah untuk
melihat dimana segmen-segmen tersebut menyatu. Para siswa mungkin menemukan Tiresias sebagai orang yang menyatukan
puisi, setiap tema mengalir kepada karakter fiksi ini.
Latihan ini
ditujukan untuk mengarahkan siswa menuju pemahaman tentang puisi yang lebih
lanjut.
10.
Bulatkan semua kata kerja reguler yang anda temukan dan garis bawahi kata
kerja irreguler. Tentukan jenis tense
yang digunakan (simple past, present
perfect, conditional, dll.) dan cobalah untuk menentukan fungsi mereka.
Lakukanlah hal yang sama dengan modal
verbs (kata kerja bantu) yang anda temui dalam membaca puisi tersebut.
Berikut ini merupakan
latihan grammar.
11.
Kita sudah membicarakan tentang struktur puisi yang terpisah-pisah,
disana kita bisa melihat perbedaan bentuk/jenis menceritakan sebuah cerita:
deskripsi, narasi, dialog; cobalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk
tersebut dalam puisi The Waste Land.
Apakah anda juga bisa memikirkan tujuan komunikatif untuk penggunaan
masing-masing dari bentuk-bentuk tersebut dalam situasi nyata?
12.
Sebagaimana yang telah anda amati, dalam puisi tersebut terdapat beberapa
dialog. Bersama teman, transformasikanlah dialog-dialog ini kedalam bahasa
Inggris yang biasa digunakan sehari-hari saat ini.
13.
Berlatihlah membaca nyaring beberapa bait puisi dalam kelompok kecil. Apa
yang dapat anda perhatikan mengenai ritme, kecepatan, intonasi?
14.
Pikirkanlah bersama teman sejawat tentang hal-hal yang membuat anda
merasa sedih dan yang membuat anda ketakutan. Tulislah dalam sebuah daftar dan
tulislah kalimat sederhana dengan menggunakan kata-kata atau ekspresi tersebut.
Para siswa mungkin menuliskan hal-hal seperti peperangan, kemiskinan,
kekerasan, pelecehan, atau kesendirian.
Menulis:
Segmen ini
berdasarkan pada ide bahwa melalui membaca, kemampuan menulis juga meningkat.
Hal ini penting bahwa kita membantu para siswa kita untuk mengembangkan
kemampuan menulis mereka dalam bahasa asing.
15.
Tulislah sebuah puisi pendek, hanya 10 baris, dimana anda mengekspresikan
diri anda dalam keadaan ketakutan dan kesedihan. Gunakan kalimat-kalimat dan
kata-kata yang didaftarkan ketika bersama teman anda. Bekerjalah secara
individu.
16.
Pilihlah sepuluh kata dari puisi yang berhubungan dengan harapan untuk masa depan dan gunakan
sepuluh kata tersebut untuk menulis sebuah teks pendek dengan judul harapan untuk masa depan.
17.
a) Menurut anda, penulis puisi tersebut seperti apa? Bersama teman
buatlah daftar serangkaian karakteristik yang anda pikir dimiliki oleh dia,
secara fisik, anda mungkin bahkan menggambarnya. Pikirkanlah dimana dia mungkin
dilahirkan, apa pekerjaannya, terlepas dari menulis puisi, atau apakah dia
memiliki keluarga atau tidak.
b) Kemudian, temukan dan
tulis sebuah biografi penulis puisi tersebut.
Daftar aktifitas
yang dapat disertakan dalam segmen ini sangat banyak sekali. Kita bisa berpikir
tentang memilih sebuah kata dari puisi, menjelaskan sebuah keluarga semantik
dan menciptakan sebuah puisi diluar dari aktifitas tersebut, menyelesaikan
bagian-bagian puisi, membentuk kembali puisi, menulis sebuah kritik puisi, dan
sebagainya (lihat Maley dan Duff 1990, Carter dan Long 1991, Collie dan Slater
1994, Maley 1996 untuk ide-ide aktifitas lebih lanjut).
Segmen yang
selanjutnya adalah Bereksperimen, dapat dilakukan dengan
mengimplementasikan sebuah perbandingan puisi dari T.S. Eliot, dengan beberapa
puisi sebelumnya dan beberapa puisi dibelakang puisi tersebut untuk melihat
perbedaan pada segi tematik (simbol, kebiasaan, topik) dan level-level
struktural.
Implementasi
dari aktifitas-aktifitas ini adalah guru dapat memperluas satu periode kelas,
tetapi sebagaimana yang telah katakan diatas, hal ini bermaksud untuk menjadi
sebuah kerangka saran untuk menggunakan puisi The Waste Land sebagai sebuah sumber untuk pengajaran bahasa
Inggris didalam prinsip-prinsip pendekatan komunikatif. Hal ini meletakkan
kepentingan pada perkembangan kompetensi sosial, menunjukkan kepada siswa kita
bagaimana untuk berkomunikasi di situasi kehidupan nyata dalam budaya asing dan
dalam bahasa asing. Guru mempunyai tanggung jawab mengarahkan para siswanya
untuk “belajar bagaimana untuk belajar”. Hal ini merujuk kepada kapasitas para
siswa untuk mengembangkan pembelajaran mereka sendiri, otonomi mereka sebagai
pembelajar bahasa, dan juga membantu mereka untuk melihat dengan mata mereka
sendiri pada kualitas kesusastraan sebuah karya.
5. Kesimpulan
Artikel ini mengujikan aplikasi yang
mungkin dapat dilakukan menggunakan puisi yang diciptakan oleh T.S. Eliot The Waste Land di kelas bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua. Setelah disampaikan bahwa kepopuleran penggunaan sastra
yang kian bertambah di kelas bahasa asing, sebuah justifikasi pemilihan puisi The Waste Land kemudian mengikuti.
Secara formal maupun tematik, puisi tersebut merupakan sebuah puisi yang
menarik, kekuatan motivasinya yang kuat tidak dapat dibantah, puisi tersebut
juga menampilkan bahasa yang nyata dan terkini, yang mana merupakan datang dari
sudut pandang pendekatan metodologis (pendekatan komunikatif) itu sangat
penting. The Waste Land secara
kultural, historis, dan kesusastraan sangat relevan untuk digunakan dan
dipelajari. Selanjutnya, puisi pada umumnya merupakan potongan sastra yang
menyenangkan, yang mana siswa akan senang untuk membacanya.
Dengan proposal aktifitas diatas, dapat
dilihat bahwa belajar pada puisi seperti itu, tidak hanya tentang kompetensi
kesusastraan yang dapat dikembangkan, tetapi juga leksikal, morfosintaksis dan
kompetensi komunikatif-sosial. Jika aktifitas dan implementasinya sesuai, The Waste Land bisa jadi alat yang
sangat berguna dalam konteks kelas ESL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar