Senin, 08 Februari 2016

MENGAJARKAN BAHASA INGGRIS MELALUI SASTRA: PUISI THE WASTE LAND DALAM KELAS BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA (ESL)



MENGAJARKAN BAHASA INGGRIS MELALUI SASTRA: PUISI THE WASTE LAND DALAM KELAS BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA (ESL)
Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh:
Denny Nugraha
Jurusan Tadris Bahasa Inggris
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
Ditulis dalam Bahasa Inggris oleh: Pilar Agustin Llach

Abstrak
Artikel ini diniati untuk menunjukkan bagaimana sastra dapat digunakan dalam kelas bahasa untuk mengembangkan wawasan bahasa Inggris pembelajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau English as Second Language (ESL). Pertama, penulis menelaah perkembangan sastra dalam kelas bahasa. Kedua, penulis memperhatikan beberapa alasan/landasan yang mendukung penggunaan sastra dalam kelas. Ketiga, penulis memperhatikan peran aktifitas membaca dalam perkembangan bahasa, dan memperhatikan cara puisi diajarkan sebagai salah satu pendekatan kompetensi komunikatif dalam bahasa Inggris. Artikel ini diakhiri dengan sebuah proposal instruksional untuk pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL).
1.    Pendahuluan
Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan peran yang relevan sastra sebagai sumber pengajaran bahasa kedua. Dalam hal ini fokus akan ditempatkan pada pengajaran yang dapat guru bahasa lakukan lewat puisi The Waste Land untuk membantu siswa mengembangkan kecakapan mereka dalam berbahasa Inggris. Sastra memberikan banyak kesempatan linguistik kepada pembelajar bahasa dan memungkinkan guru untuk mendesain aktifitas-aktifitas yang bersifat “berdasarkan pada materi yang mampu menstimulasi minat dan keterlibatan yang lebih besar” daripada bahan non-sastra atau yang disebut teks informatif (Carter dan Long 1991:3). Tujuan dari aktifitas-aktifitas ini berfokus pada bentuk dan konten dari teks sebagai acuan, dan menyediakan stimulus/rangsangan bagi interaksi yang berlangsung antara teks dengan para siswa, dan dengan guru (Duff dan Maley 1990:3).
Artikel ini disusun dengan pendekatan komunikatif kepada pengajaran bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kompetensi komunikatif hendaknya menjadi tujuan akhir dari aktifitas bahasa apapun. Relevansi sastra dalam pendekatan ini adalah, di satu sisi, sastra menyampaikan suatu pesan. Hal ini merupakan sebuah cara komunikasi antara penulis dengan pembaca. Di sisi yang lain, sastra memberikan perhatian yang khusus pada bentuk (form), dan dalam hal ini dapat membantu siswa berefleksi mengenai bahasa, prinsip dan tujuan yang lain dari metode komunikatif. Hal ini tentu penting bagi siswa untuk mengembangkan kompetensi linguistik mereka dengan belajar bagaimana untuk mengungkapkan makna dalam bahasa Inggris, tapi juga mereka dapat mengembangkan kompetensi komunikatif mereka, yang akan memungkinkan mereka untuk mengirimkan pesan, untuk mempergunakan bahasa untuk berinteraksi, untuk berkomunikasi dengan orang lain, yang pada akhirnya, merupakan fungsi dasar dari bahasa. Penggunaan bahasa sebagai sebuah alat mengajar didukung oleh fakta-fakta yang telah disebutkan diatas, yaitu, karena sastra membekali siswa dengan wawasan linguistik yang otentik (juga sosiolinguistik) dan materi yang bersifat kultural, dan juga karena sastra memotivasi siswa untuk berinteraksi.
Teks sastra dipilih berdasarkan tradisi modernisme yang tidak pernah digunakan dalam referensi sebagai sumber pengajaran bahasa. Puisi The Waste Land sangat memenuhi syarat untuk pengajaran karena potensi pedagogisnya yang tinggi baik pada kontennya maupun pada bentuknya. Ide-ide dan filosofi modernisme yang mendasari penggunaan puisi ini menghasilkan ketertarikan yang sangat tinggi di kalangan siswa, yang mungkin sangat baik bagi mereka dimulai dari memperkenalkan mereka dengan penyair atau narator puisi tersebut.
Artikel ini dibagi kedalam tiga bagian utama. Yang pertama adalah teori dan penjelasan mengenai kegunaan sastra secara umum, dan puisi khususnya, yang sedang dijadikan sebagai sumber pengajaran bahasa kedua. Bagian yang kedua berhubungan dengan penelaahan alasan-alasan mengapa puisi karya T.S. Eliot The Waste Land dirasa sesuai bagi pendekatan yang digunakan (kompetensi komunikatif). Bagian terakhir adalah teknis praktik dan pengumpulan sejumlah saran untuk aktifitas kelas yang didasarkan dengan fungsi puisi dalam meningkatkan taraf pembelajaran bahasa yang diiringi dengan kesadaran bersastra.
2.    Sastra dalam Pengajaran Bahasa
2.1.  Perkembangan Sejarah
Sastra dan bahasa berhubungan erat. Hal ini adalah fakta yang mana tidak ada seorangpun yang bisa membantahnya. Sastra diangkat oleh bahasa, dan sastra merepresentasikan satu dari banyak penggunaan bahasa. Bahasa dan analisis linguistik bisa juga digunakan untuk mengakses sastra dari sudut pandang siswa. Brumfit dan Carter (1986:1) telah menekankan peran sastra sebagai “sekutu bahasa”. Teknik ini bukan berarti novel saja, karena sastra telah menjadi sebuah alat mengajar yang digunakan dalam metode pengajaran membaca yang berbeda. Namun, disini perspektif itu dirubah untuk memberikan relevansi yang lebih signifikan kepada teks sastra sebagai karya seni. Pertama, mari kita berangkat dari sekitar peran yang berubah dari sastra dalam tradisi pengajaran bahasa kedua.
Dalam metode penerjemahan tata bahasa (Grammar-Translation Method), dulu sastra merupakan komponen yang sentral. Teks sastra dari bahasa target dibaca dan diterjemahkan, digunakan sebagai contoh-contoh tulisan yang baik dan dijadikan sebagai “ilustrasi aturan-aturan tata bahasa” (Duff dan Maley 1990:3). Fokus dari metode pengajaran ini berada pada bentuk, dengan mempelajari aturan-aturan tata bahasa dan poin-poin leksikal sebagaimana muncul dalam teks. Dulu tidak ada minat/ketertarikan sastra, pun juga minat/ketertarikan pada konten di kalangan siswa. Setelah metode ini dianggap gagal dan ditinggalkan, teks sastra juga dilupakan oleh kebanyakan guru bahasa.
Bagi pendekatan struktural pada pengajaran bahasa, sastra tidak dianggap sebagai sebuah alat, karena sastra merepresentasikan tradisi lama. Metode fungsional dinamis mengabaikan sastra, karena hal terpenting dalam metode ini adalah pada komunikasi dan sedangkan sastra hanya dapat menghadirkan sampel fitur bahasa yang otentik. Sastra tidak dipertimbangkan dengan baik untuk berkesempatan mempunyai fungsi komunikatif maupun untuk menjadi contoh yang otentik dari penggunaan bahasa.
Meskipun begitu, dalam beberapa dekade terakhir minat/ketertarikan dalam sastra sebagai salah satu sumber pengajaran bahasa yang berharga telah bangkit kembali (Duff dan Maley 1990:3). Hal ini berkesesuaian dengan arus baru dalam pendekatan komunikatif yang melihat bahwa membaca sastra merupakan realisasi sempurna dari prinsip dan tujuan pendekatan tersebut, yaitu untuk mengembangkan kompetensi komunikatif, yang mengajarkan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa kedua dan menjabarkan situasi yang komunikatif, otentik dan nyata (Sanz dan Fernandez 1997).
Membaca sastra adalah aktifitas yang komunikatif dan teks sastra adalah yang sekarang ini dapat menyangkal bahwa hal tersebut bukan merupakan fungsi otentik dari penggunaan bahasa. Banyak penulis, diantaranya Brumfit dan Carter (1986) dan Lazar (1993), menolak pemikiran dari eksistensi bahasa yang spesifik dan mereka mengklaim bahwa bahasa juga digunakan dalam teks-teks sastra bahasa yang umum dengan konsentrasi sifat-sifat linguistik yang tinggi seperti metafora, kiasan, sajak, leksis, dan pola-pola sintaksis yang tidak biasa, dll (lihat Lazar 1993:7 untuk informasi lebih lanjut tentang karakteristik kegunaan kesusastraan bahasa). Hal-hal ini bukan merupakan sastra yang spesifik karena ciri-ciri ini juga nampak dalam penggunaan bahasa yang biasa dan juga dalam sajak kanak-kanak, peribahasa atau slogan reklame, yang hanya menyebutkan sedikit contoh, namun, dalam sastra hal-hal ini menunjukkan fenomena kesusastraan bahasa. Oleh karena itu, kita berbicara mengenai kegunaan kesastraan bahasa.
2.2.  Menelaah Alasan untuk Menggunakan Sastra dalam Kelas Bahasa
Kita dapat menyatakan bahwa terdapat tiga kriteria utama yang mendukung penggunaan sastra sebagai alat pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (ESL) (Duff dan Maley 1990: 6). Pada tempat pertama, kriteria linguistik mempertahankan bahwa sastra hendaknya digunakan dalam pengajaran bahasa, karena sastra dapat menyediakan siswa sampel bahasa yang otentik dan asli, dan juga dengan sampel yang nyata dari sebuah cakupan gaya (style) yang luas, jenis-jenis teks dan registers. Hal ini sangat penting untuk pembelajar bahasa asing agar dilatih dalam keanekaragaman register, gaya (style) dan genre supaya mampu untuk melihat fungsi masing-masing keanekaragaman fitur bahasa tersebut. Manifestasi yang berbeda dari bahasa ini tidak hanya berbeda secara linguistik, namun juga secara sosial, hal itu semua mempunyai fungsi komunikatif sosial (Sanz dan Fernandez 1997). Hal ini berhubungan dengan gagasan kecukupan. Gagasan tersebut merujuk kepada fakta bahwa pesan perlu untuk disampaikan dengan benar secara linguistik dan sesuai dengan situasi, dan tidak hanya memandang kontennya, tetapi juga bentuknya (lihat Llobera 1995, Sanz dan Fernandez 1997), Cassany (1999) untuk pemikiran yang lebih detail pada gagasan kecukupan dan hubungannya dengan kompetensi komunikatif).
Kriteria yang kedua merupakan metodologi dan merujuk kepada fakta bahwa sebuah teks sastra mempunyai interpretasi yang banyak, dengan teman sesama siswa dan hal ini menunjukkan kepada interaksi yang nyata dan dapat termotivasi dengan teks, dengan teman sesama siswa dan dengan guru (Widdowson 1983). Interaksi adalah salah satu dari dasar-dasar pendekatan komunikatif yang mempertahankan bahwa dengan hanya dengan berinteraksi dan berkomunikasi-lah bahasa itu dipelajari (Sanz dan Fernandez 1997). Dari sudut pandang yang bersifat metodologis, aspek-aspek lebih lanjut yang mendahulukan penggunaan sastra dalam kelas bahasa adalah peran aktif pembelajar dan teks sastra sebagai fokus perhatian. Siswa menjadi aktif, mandiri, dan berpusat kepada proses belajar. Satu aspek dari kepentingan yang spesial dalam pendekatan komunikatif, dan yang secara baik sekali direfleksikan dalam puisi, adalah gagasan bahwa sastra mensuplai siswa dengan informasi kultural tentang negara yang bahasanya sedang mereka pelajari (Lazar 1993: 16). Persajakan/puisi itu fiksional dan, oleh karena itu, kita harus lebih berhati-hati ketika memperlakukan poin ini di kelas, karena terkadang hubungannya dengan dunia nyata agak lemah/kendur. Respon kita kepada aspek kultural sebagaimana direfleksikan dalam sastra hendaknya bersifat kritis (Lazar 1993: 17).
Akhirnya, kriteria motivasional adalah keterkaitan yang baik sekali karena teks sastra menunjukkan perasaan yang nyata dari sang penulis dan hal ini menumbuhkan motivasi yang kuat dalam diri siswa. Bersama teks sastra, siswa mengakses pengalaman pribadi ini, jika siswa disentuh dengan tema dan kemudian terprovokasi, siswa akan menjadi mampu untuk menghubungkan apa yang sedang mereka baca kepada dunianya, kepada apa yang mereka ketahui dan rasakan. Mendesain aktifitas yang merangsang dan memotivasi siswa adalah tantangan terbesar bagi para guru bahasa, dan sastra dalam hal ini mempunyai kekuatan memotivasi yang kuat oleh karena rangsangannya kepada pengalaman pribadi.
2.3.  Membaca sebagai Pendukung Pengembangan Bahasa
Klaim yang mendasari penggunaan sastra untuk mengembangkan linguistik dan kompetensi komunikatif adalah asumsi bahwa membaca merupakan salah satu cara yang terbaik mempelajari sebuah bahasa. Entah itu secara sadar atau tidak sadar, membaca membantu pembelajar bahasa kedua untuk mendapatkan tidak hanya kosa kata dan makna-makna yang lebih dan penggunaan kata-kata yang sudah diketahui (kompetensi leksikal), tetapi juga berkontribusi untuk mengembangkan pengetahuan sintaksis (Brumfit dan Carter 1986). Krashen (1989) dan Coady (1997) berpendapat bahwa melalui membaca ekstensif (extensive reading), siswa memperoleh kebanyakan kosa kata mereka, dan pengajaran memainkan peran yang agak tidak signifikan sebagaimana jumlah kata-kata yang dipelajari itu diperhatikan. Paribakht dan Wesche (1997) juga mempunyai opini yang sama. Bagi Grobe dan Stoller (1997), membaca berkontribusi secara baik kepada pengembangan kosa kata dan juga kepada pemahaman menyimak (listening comprehension).
Oleh karena itu, membaca karya sastra bernilai positif dalam beberapa hal. Aktifitas ini hadir dengan materi bahasa yang otentik dan bervariasi, juga menyediakan situasi komunikatif terkontekstualisasi, pola interaksi sosial yang nyata, dan fungsi bahasa (Collie dan Slater 1987: 2), yang dalam hal ini juga mencermati peran sentral pembelajar dalam proses belajar dan membangkitkan interaksi dalam kelas, serta memotivasi mereka dengan mendorong mereka untuk menghubungkan apa yang sedang dibaca kepada pengalaman mereka sendiri karena dengan membaca sastra mendatangkan respons emosional (Collie dan Slater 1987: 2). Aktifitas ini juga diketahui berkontribusi besar untuk mengembangkan kemampuan membaca lanjutan seperti “menyimpulkan makna dan menggunakan item-item leksikal yang tidak familiar”, “memahami nilai komunikatif (fungsi) dari kalimat dan ujaran”, “mengenali suatu sistem penulisan bahasa”, dan sebagainya (Grellet 1981: 4-5). Menggunakan sastra untuk mengajarkan bahasa tidak hanya berkontribusi kepada pemahaman linguistik yang lebih baik, tetapi juga perkembangan kemampuan kreatif, dan kemahiran berbahasa yang lebih baik, dan juga memberikan kontribusi penting kepada apresiasi kesusastraan (Ramsaran 1983: 42).
2.4.  Puisi dalam Pengajaran Bahasa Kedua
Diantara jenis-jenis karya sastra yang digunakan dalam pengajaran bahasa, puisi merupakan salah satu dari yang sering muncul (diajarkan). Dikarenakan oleh komposisinya yang pendek, sangat cocok untuk satu pelajaran kelas, strukturnya dan karakteristik fitur-fitur linguistiknya yang tidak menentu (pola sintaksis yang tidak biasa, kata-kata polisemi, aliterasi, dll). Puisi telah menjadi alat favorit bagi para guru bahasa. Karakter puisi yang evokatif, imajeri, dan daya tariknya kepada perasaan dan pengalaman pribadi membuat puisi menjadi sangat menarik dan menyenangkan bagi para pembelajar bahasa kedua. Khususnya, puisi dapat mengarah kepada ekspresi kreatif yang menarik dalam bahasa asing dan puisi biasanya memancing respons yang kuat dari pembaca yang mana akan memotivasi mereka untuk membaca lebih lanjut (Collie dan Slater 1987: 226).
Pentingnya puisi dan kebermanfaatannya dalam kelas bahasa terletak dalam fakta bahwa puisi berbeda dari bahasa normal. Puisi mempunyai beberapa cara yang tidak biasa dalam menyusun kata-kata, atau mengatribusikan makna-makna imajinatif tertentu kepada kata-kata atau mengkombinasikan bunyi-bunyi dalam cara musikal yang tidak biasa (fonologis, leksikal, sintaksis, semantis, grafologis, dan penyimpangan gaya (Ramsaran 1983: 36). Guru bahasa hendaknya memanfaatkan gejala penyimpangan bahasa ini untuk membangkitkan kesadaran berbahasa pembelajar terhadap cara dimana bahasa dapat diadaptasikan atau diubah untuk memenuhi tujuan-tujuan komunikatif yang berbeda.
3.    Alasan Mengapa Memilih Puisi The Waste Land
“Kunci sukses dalam menggunakan sastra dalam kelas ESL nampaknya bertumpu pada karya sastra yang dipilih” (McKay 1986: 193). The Waste Land menawarkan kesempatan pedagogis yang bagus untuk bahasa dan kegunaannya yang luar biasa, dan filosofi kontroversial yang dikandungnya.
3.1.  Konten
Dari sudut pandang analisis konten, puisi menunjukkan serangkaian fitur-fitur yang membuatnya sangat menarik bagi kelas bahasa. Pertama, puisi merupakan salah satu karya sastra yang paling relevan. Secara literal dan kultural puisi menandai sebuah titik balik. Puisi mempersaingkan standar yang telah dibangun dan membawa sebuah aliran baru: modernisme, yang menginvasi semua bidang manifestasi kultural, tidak hanya dalam sastra, tetapi juga dalam arsitektur atau seni lukis. Puisi ini merubah “wajah budaya abad ke-20” (Selby 1999: 7). Setelah perang dunia, Eropa, bidang-bidang ini dan orang-orangnya ditinggalkan begitu saja. Kengerian perang, kehancuran dan kekacauan secara fisik, emosional, politik dan kultural yang ditinggalkannya menginspirasi The Waste Land. T.S. Eliot, penulis puisi tersebut, seperti layaknya sejawat yang sejaman dengannya, yakin bahwa budaya lama dan nilai-nilai sosial, norma-norma, dan keyakinan telah tercerai-berai oleh perang dan pengalaman-pengalaman baru yang timbul sesudahnya (Selby 1999: 7). Hal-hal tersebut tidak lagi sesuai dan perasaan kehilangan/kerugian dan ketertinggalan telah menggantikan hal-hal tersebut. Modernisme dapat dibandingkan pada pemuda, karena dalam kehidupan sekarang ini ada banyak pengalaman-pengalaman baru yang terjadi. Para pembelajar mungkin merasa puisi menceritakan kehidupan mereka dalam beberapa cara, cara mereka merasakan pikiran dan perasaan mereka. Mereka mungkin mengidentifikasi penyair/penulis puisi dan merasakan apa yang sedang penulis ceritakan mereka dari kecemasan dalam beberapa momen hidup mereka; “penting untuk memilih tema-tema yang mana para siswa dapat mengidentifikasinya” (McKay 1986: 194). Disini terletak relevansi dan ketertarikan dari The Waste Land. Bacaannya menciptakan dan menuntut tingkatan keterlibatan personal yang tinggi dari siswa. Puisi memungkinkan untuk menghasilkan banyak interpretasi, karena puisi menunjukkan serangkaian bagian-bagian yang misterius dan simbolis yang mana diperuntukkan bagi para pembaca untuk menginterpretasi berlandaskan pada pengalamannya sendiri, pada “struktur mental dan emosional” (Traversi 1976: 14), disini kita melibatkan para siswa dengan misteri dan simbol-simbol yang sepenuhnya ada dalam puisi.
Walaupun karakternya yang fiktif, The Waste Land adalah sebuah cara yang baik untuk meningkatkan pengayaan kultural para siswa dengan menyediakan mereka wawasan masa lalu (tradisi) dan budaya modern dari “negara yang bahasanya sedang dipelajari” (Collie dan Slater 1987: 4). Salah satu kiasan puisi yang paling relevan dan menarik adalah tradisi, oleh karena itu, budaya dan masa lalu memainkan peran penting dalam puisi The Waste Land.
Puisi The Waste Land, oleh karena itu relevan secara kultural dan literal, dalam persesuaiannya dengan latar belakang budaya para siswa. Puisi ini memotivasi, dan memungkinkan untuk menjadi wahana pengayaan kultural dan keterlibatan personal. Para siswa dapat menggambarkan puisi tersebut dan menghubungkannya kepada pengalaman pribadi mereka. Mereka menciptakan puisi mereka sendiri sebagaimana mereka berinteraksi dengan puisi itu, dan interaksi ini yang kemudian menyiratkan keterlibatan dalam membaca puisi.
3.2.  Bentuk
Puisi ini merupakan puisi yang panjang, yang susunannya agak terpisah-pisah. Hal ini memungkinkan guru untuk mendesain aktifitas-aktifitas dan mengorganisasikan kelas-kelas pada dua level. Di satu sisi, masing-masing individu memisahkan puisi dapat digunakan untuk masing-masing satu pelajaran, contohnya sebagaimana diceritakan oleh Eliot, atau guru mungkin menemukan pemisahan alternatif; di sisi yang lain, puisi mungkin digunakan selama beberapa sesi lebih dari satu atau dua minggu. Kelebihannya adalah bahwa puisi tersebut menceritakan banyak cerita yang berbeda dalam kerangka cerita yang lebih panjang, seperti “superstory”, dan hal ini dapat dimanfaatkan dengan mengembangkan latihan-latihan yang berhubungan dengan sub-tema dan tema umum. Sebagaimana Eliot mengakui dirinya sendiri dalam puisi tersebut, bahwa puisi ini merupakan “timbunan gambar-gambar yang rusak”, dimana suara-suara dan karakter-karakternya menyusul satu sama lain dan saling mengingatkan. Susunan novel ini dan representasi pengalamannya sangat memotivasi dan akan melibatkan para siswa dalam menguraikan makna komunikatif yang sejati.
Gabungan antar katanya yang tidak biasa (collocation) atau makna aneh yang diatribusikan kepada beberapa kata atau ekspresi: “April adalah bulan yang paling sial”, “mengaduk akar yang tumpul dengan hujan musim semi”, “musim dingin membuat kita tetap hangat” dan sebagainya dapat digunakan oleh guru untuk mendorong siswa berefleksi pada asal dari bahasa yang digunakan dan pada tujuan-tujuan berbeda yang dapat dicapai dengan memodifikasi susunan kata reguler, mengubah makna sebuah kata yang diprediksi atau menemukan kombinasi baru dua item leksikal (lihat Reeves 1994 untuk contoh yang lebih banyak dan penjelasan lebih lanjut mengenai “pengasingan linguistik” dan “daya tarik linguistik”).
Alasan lain mengapa kita memilih untuk menggunakan The Waste Land adalah bahwa puisi ini merupakan sebuah karya kontemporer dan oleh karena itu, bahasanya modern dan dapat dimengerti. Kombinasi bahasa-bahasa yang berbeda (Latin, Italia, Jerman, dll) yang nampak dalam puisi ini juga sangat menarik bagi para siswa. Guru bisa mendorong mereka berefleksi tentang tujuan menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda tersebut dan efek yang didapat oleh kegiatan ini, membantu mereka untuk mengembangkan pengetahuan mereka mengenai aturan-aturan fungsi sosial, bersama dengan aturan-aturan tata bahasa.
Kita sadar akan linguistik dan kesulitan konseptual dari puisi. Fakta bahwa terdapat area-area yang sulit, yang dapat siswa atasi, sangat menantang dan memotivasi dan hal ini merupakan sebagai dorongan lebih lanjut untuk membaca dan memahami puisi. Hal ini penting untuk memperjelas bahwa para ahli menunjukkan kecenderungan untuk teks yang otentik dan tidak disederhanakan/dimudahkan, karena teks itu lebih bernilai dari sudut pandang linguistik, karena teks tersebut menyediakan bahasa yang nyata dalam konteks dan stimulus yang natural, dengan eksplorasi dan diskusi terhadap konten, yang mengarah kepada pengujian bahasa (Brumfit dan Carter 1986: 15). Grellet (1981: 7) mengklaim bahwa kesulitan tidak berada pada teks itu sendiri melainkan pada latihan-latihan yang dipersyaratkan untuk siswa.
Sastra dapat meningkatkan pemahaman membaca sisw ke level yang lebih tinggi, karena kemampuan membaca terletak pada interaksi antara pembaca dan penulis, interaksi yang dimediasi oleh teks (McKay 1986: 192). Semakin teks itu memotivasi dan menyenangkan, maka interaksi tersebut akan menjadi semakin intens, nyata, dan kuat (Brumfit dan Carter 1986: 15). Ketika membaca The Waste Land, para siswa berkomunikasi, menerjemahkan makna-makna dan berefleksi pada bahasa dan strategi komunikasi dalam bahasa asing, ini merupakan “faktor yang krusial dalam perkembangan kemampuan belajar bahasa” (Brumfit dan Carter 1986: 14). Cassany (1999) kurang lebih mengatakan dan mengklaim bahwa membaca membantu mengembangkan kemampuan menulis dengan memacu menulis imajinatif siswa dan dengan menyediakan mereka dengan contoh-contoh penggunaan bahasa yang nyata.
4.    Proposal Aktifitas untuk Mengimplementasikan Puisi The Waste Land
Aktifitas ini diharapkan untuk menjadi beberapa kerangka yang menuntun kepada penggunaan The Waste Land sebagai sumber pengajaran bahasa. Aktifitas ini diperuntukkan bagi pembelajar bahasa Inggris pada level intermediate-advanced setingkat level universitas (mahasiswa). Mengikuti Maley (1996) kita akan membagi latihan kita kedalam empat bagian utama: merespons, menganalisis, menulis, dan eksperimen lebih lanjut.
Merespons : aktifitas ini adalah apa yang secara tradisional disebut sebagai aktifitas pra-membaca:
1.      Pikirkanlah bersama seorang teman sebuah situasi dimana anda merasa sedih, atau bahkan hancur. Hal ini mungkin memberikan kenaikan respons yang banyak, contoh: ketika ditinggalkan oleh seseorang yang anda dicintai, ketika seseorang dalam keluarga meninggal, atau ketika gagal dalam sebuah ujian.
2.      Menarik kesimpulan dari judul. Menurut anda puisi tersebut tentang apa? Bekerjalah berpasang-pasangan. Disini kita mungkin mengharapkan jawaban seperti: sebuah perang, epidemik yang membunuh banyak orang di sebuah wilayah kecil, kehancuran ladang atau tanaman oleh musuh, pembuangan keluarga, kemiskinan karena kurangnya hujan dan tanaman yang kekeringan.
3.      Pikirkan hal-hal yang mungkin menyebabkan keadaan “terbuang/pembuangan” sebuah daratan, atau seseorang. Pikirkan dengan seluruh kelas, guru menuliskannya di papan tulis. Siswa mungkin memberikan kata-kata seperti kekerasan, banjir, longsor, kerja keras, stres, tensi, dan sebagainya.
4.      Bersama teman anda, pikirkan konteks umum diluar dari yang mana menjadikan sebuah puisi yang bisa jadi seperti: negara, zaman, situasi pribadi penulis, peristiwa politik dan ekonomi, dll. Misalnya, siswa mungkin berpikir seorang anggota keluarga paruh baya, yang ladangnya telah dihancurkan oleh banjir bandang dan menderita kelaparan. Seluruh distrik dan negara, misalnya Inggris, menderita sebuah epidemi karena banjir, dan penulis puisi, anak dari keluarga miskin memutuskan untuk
menulis ceritanya.
5.      Baca puisi tersebut di rumah.
Dengan aktifitas-aktifitas awal ini, guru mempermulus jalan latihan membaca dan menuntun siswa kepada apa yang akan mereka temui hari-hari berikutnya. Hal ini penting bahwa siswa memprediksikan apa yang akan datang dan bahwa mereka mempunyai beberapa ide sebelumnya tentang apa yang akan mereka baca. Hal ini merupakan sebuah strategi yang penting tidak hanya dalam pembelajaran bahasa, tetapi juga dalam komunikasi (Maingay 1983).
Menganalisis : aktifitas pada bagian ini mengarah kepada sebuah analisis puisi yang lebih mendalam baik dari segi konten maupun bentuk yang dicermati: penglihatan lokal dan global.
Pertanyaan-pertanyaan Pemahaman Umum (pendekatan global)
6.      Mengenai apa puisi tersebut? Dimana puisi itu diciptakan? Apa tema sentral dari masing-masing bagian puisi tersebut? Disini guru hendaknya menyediakan siswa dengan beberapa informasi latar belakang tentang zaman ketika puisi tersebut dibuat dan peristiwa-peristiwa yang bertempat di Eropa pada waktu itu. Menyediakan informasi latar belakang kepada siswa merupakan bantuan yang sangat bagus untuk meningkatkan pemahaman mereka seputar teks, dan demikian, meningkatkan efek pedagogis aktifitas-aktifitas yang dilakukan (Lazar 1993: 38). Terdapat beberapa cara menghadirkan informasi ini, sebagai sebuah kuliah kecil, sebagai sebuah bacaan atau pemahaman mendengarkan atau sebagai proyek penelitian untuk diimplementasikan oleh para siswa (Lazar 1993: 38).
Analisis lokal
7.      Puisi The Waste Land mempunyai keanehan, sebagaimana yang telah anda amati, “tercerai-berai” dalam beberapa pecahan tematik dan struktural. Dengan seorang teman, identifikasikanlah pecahan-pecahan berbeda ini dan pikirkanlah sifat atau ekspresi yang dapat mendefinisikan pecahan tertentu. Pecahan-pecahan yang mungkin mereka identifikasi bisa jadi: penguburan kematian, raja bajak laut buntung, keberlaluan musim dan menjelang musim dingin yang lambat dan sedih, dll. Kata-kata atau ekspresi yang digunakan untuk mendeskripsikan pecahan-pecahan ini bisa seperti kematian, kesepian, kesedihan, kesendirian, kedinginan.
8.      a) Semua kelas, pikirkanlah beberapa ekspresi atau sifat-sifat yang menjabarkan perasaan-perasaan bahwa puisi tersebut memprovokasi anda.
b) Perang, perpecahan, kematian, kesepian, kesedihan, kehancuran, kesendirian adalah beberapa perasaan yang mungkin puisi coba untuk timbulkan didalam diri pembaca. Temukan bersama temanmu, frase, metafora atau kiasan dalam puisi yang paling memprovokasi perasaan tersebut dalam diri anda dan seseorang yang anda komentari sebelumnya pada 8a, atau frase-frase yang penulis kehendaki untuk memprovokasi anda dengan perasaan-perasaan yang telah disebutkan tersebut.
c) Cobalah cari, dengan bantuan kamus, lawan dari kata-kata yang anda gunakan untuk mendefinisikan perasaan-perasaan yang telah anda dapatkan ketika membaca The Waste Land.
Dengan latihan-latihan ini, kita menggunakan pemecahan yang berulang dari puisi dan kiasan yang diulang kepada kematian dan kesepian untuk mengembangkan kompetensi leksikal para siswa kita. Latihan kosakata disini berdasarkan pada perasaan-perasaan kesedihan dan kesendirian yang pastinya akan memdorong siswa berinteraksi didalam kelas dan dalam kelompok.
9.      a) Lihatlah baik-baik pada bagian pertama dari puisi The Waste Land, “burial death” dan cobalah untuk membatasi tema utama. Petunjuk: pikirkanlah ide yang berulang dari kematian dan kehancuran dan pertimbangkan bait : “mixing memory and desire” (baris 2-3). Bekerjalah berpasangan. Mereka mungkin menunjukkan secara tepat sebagaimana tema-tema yang berulang dari bagian pertama sebagai berikut: ketakutan kematian, tetapi kesadaran akan kehadirannya dalam kehidupan modern, kehidupan dibawah bumi, harapan untuk masa depan, tradisi, kesepian spiritual, cinta.
b) Temukan tema-tema yang baru saja bicarakan di segmen-segmen puisi yang tersisa dan cobalah untuk melihat dimana segmen-segmen tersebut menyatu. Para siswa mungkin menemukan Tiresias sebagai orang yang menyatukan puisi, setiap tema mengalir kepada karakter fiksi ini.
Latihan ini ditujukan untuk mengarahkan siswa menuju pemahaman tentang puisi yang lebih lanjut.
10.  Bulatkan semua kata kerja reguler yang anda temukan dan garis bawahi kata kerja irreguler. Tentukan jenis tense yang digunakan (simple past, present perfect, conditional, dll.) dan cobalah untuk menentukan fungsi mereka. Lakukanlah hal yang sama dengan modal verbs (kata kerja bantu) yang anda temui dalam membaca puisi tersebut.
Berikut ini merupakan latihan grammar.
11.  Kita sudah membicarakan tentang struktur puisi yang terpisah-pisah, disana kita bisa melihat perbedaan bentuk/jenis menceritakan sebuah cerita: deskripsi, narasi, dialog; cobalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk tersebut dalam puisi The Waste Land. Apakah anda juga bisa memikirkan tujuan komunikatif untuk penggunaan masing-masing dari bentuk-bentuk tersebut dalam situasi nyata?
12.  Sebagaimana yang telah anda amati, dalam puisi tersebut terdapat beberapa dialog. Bersama teman, transformasikanlah dialog-dialog ini kedalam bahasa Inggris yang biasa digunakan sehari-hari saat ini.
13.  Berlatihlah membaca nyaring beberapa bait puisi dalam kelompok kecil. Apa yang dapat anda perhatikan mengenai ritme, kecepatan, intonasi?
14.  Pikirkanlah bersama teman sejawat tentang hal-hal yang membuat anda merasa sedih dan yang membuat anda ketakutan. Tulislah dalam sebuah daftar dan tulislah kalimat sederhana dengan menggunakan kata-kata atau ekspresi tersebut. Para siswa mungkin menuliskan hal-hal seperti peperangan, kemiskinan, kekerasan, pelecehan, atau kesendirian.
Menulis: Segmen ini berdasarkan pada ide bahwa melalui membaca, kemampuan menulis juga meningkat. Hal ini penting bahwa kita membantu para siswa kita untuk mengembangkan kemampuan menulis mereka dalam bahasa asing.
15.  Tulislah sebuah puisi pendek, hanya 10 baris, dimana anda mengekspresikan diri anda dalam keadaan ketakutan dan kesedihan. Gunakan kalimat-kalimat dan kata-kata yang didaftarkan ketika bersama teman anda. Bekerjalah secara individu.
16.  Pilihlah sepuluh kata dari puisi yang berhubungan dengan harapan untuk masa depan dan gunakan sepuluh kata tersebut untuk menulis sebuah teks pendek dengan judul harapan untuk masa depan.
17.  a) Menurut anda, penulis puisi tersebut seperti apa? Bersama teman buatlah daftar serangkaian karakteristik yang anda pikir dimiliki oleh dia, secara fisik, anda mungkin bahkan menggambarnya. Pikirkanlah dimana dia mungkin dilahirkan, apa pekerjaannya, terlepas dari menulis puisi, atau apakah dia memiliki keluarga atau tidak.
b) Kemudian, temukan dan tulis sebuah biografi penulis puisi tersebut.
Daftar aktifitas yang dapat disertakan dalam segmen ini sangat banyak sekali. Kita bisa berpikir tentang memilih sebuah kata dari puisi, menjelaskan sebuah keluarga semantik dan menciptakan sebuah puisi diluar dari aktifitas tersebut, menyelesaikan bagian-bagian puisi, membentuk kembali puisi, menulis sebuah kritik puisi, dan sebagainya (lihat Maley dan Duff 1990, Carter dan Long 1991, Collie dan Slater 1994, Maley 1996 untuk ide-ide aktifitas lebih lanjut).
Segmen yang selanjutnya adalah Bereksperimen, dapat dilakukan dengan mengimplementasikan sebuah perbandingan puisi dari T.S. Eliot, dengan beberapa puisi sebelumnya dan beberapa puisi dibelakang puisi tersebut untuk melihat perbedaan pada segi tematik (simbol, kebiasaan, topik) dan level-level struktural.
Implementasi dari aktifitas-aktifitas ini adalah guru dapat memperluas satu periode kelas, tetapi sebagaimana yang telah katakan diatas, hal ini bermaksud untuk menjadi sebuah kerangka saran untuk menggunakan puisi The Waste Land sebagai sebuah sumber untuk pengajaran bahasa Inggris didalam prinsip-prinsip pendekatan komunikatif. Hal ini meletakkan kepentingan pada perkembangan kompetensi sosial, menunjukkan kepada siswa kita bagaimana untuk berkomunikasi di situasi kehidupan nyata dalam budaya asing dan dalam bahasa asing. Guru mempunyai tanggung jawab mengarahkan para siswanya untuk “belajar bagaimana untuk belajar”. Hal ini merujuk kepada kapasitas para siswa untuk mengembangkan pembelajaran mereka sendiri, otonomi mereka sebagai pembelajar bahasa, dan juga membantu mereka untuk melihat dengan mata mereka sendiri pada kualitas kesusastraan sebuah karya.
5.    Kesimpulan
Artikel ini mengujikan aplikasi yang mungkin dapat dilakukan menggunakan puisi yang diciptakan oleh T.S. Eliot The Waste Land di kelas bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Setelah disampaikan bahwa kepopuleran penggunaan sastra yang kian bertambah di kelas bahasa asing, sebuah justifikasi pemilihan puisi The Waste Land kemudian mengikuti. Secara formal maupun tematik, puisi tersebut merupakan sebuah puisi yang menarik, kekuatan motivasinya yang kuat tidak dapat dibantah, puisi tersebut juga menampilkan bahasa yang nyata dan terkini, yang mana merupakan datang dari sudut pandang pendekatan metodologis (pendekatan komunikatif) itu sangat penting. The Waste Land secara kultural, historis, dan kesusastraan sangat relevan untuk digunakan dan dipelajari. Selanjutnya, puisi pada umumnya merupakan potongan sastra yang menyenangkan, yang mana siswa akan senang untuk membacanya.
Dengan proposal aktifitas diatas, dapat dilihat bahwa belajar pada puisi seperti itu, tidak hanya tentang kompetensi kesusastraan yang dapat dikembangkan, tetapi juga leksikal, morfosintaksis dan kompetensi komunikatif-sosial. Jika aktifitas dan implementasinya sesuai, The Waste Land bisa jadi alat yang sangat berguna dalam konteks kelas ESL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar