Revisi IV, 16 Maret 2015
Kolaborasi: Solusi Pembelajaran Menulis
Oleh: Denny Nugraha
Tadris Bahasa Inggris (TBI-B) Semester IV
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon
C
|
hapter review ini diniati sebagai ulasan mengenai pengembangan
kemampuan menulis melalui metode kolaborasi yang digagas oleh duo Alwasilah (Chaedar dan Senny). Unit-unit gagasan yang akan diulas dalam tulisan ini mencakup
enam hal mendasar seperti yang diterangkan oleh kedua penulis tersebut: landasan filosofis menulis kolaboratif, teknik, tahapan, ragam teks dalam menulis
kolaboratif, peran seorang reviewer, dan evaluasi yang tepat untuk menulis
kolaboratif. Ke-enam unit gagasan
tersebut merujuk pada penjelasan kedua penulis tersebut dalam buku mereka yang
berjudul Pokoknya Menulis.
Landasan Filosofis Menulis Kolaboratif
Alwasilah (2005:25) menyatakan bahwa menulis adalah kegiatan aktif dan produktif yang dilakukan
berjamaah atau bersama-sama. Dasar ini diambil dari hadits Nabi Muhammad Saw yang menyerukan
bahwa shalat berjamaah itu dua puluh tujuh derajat lebih baik daripada shalat
sendirian. Demikian, shalat berjamaah juga jauh lebih besar pahalanya daripada
shalat sendirian. Hal ini dijadikan landasan bahwa menulis adalah kegiatan yang
berlandaskan kerja sama (collaboration) antar individu yang mempunyai
tujuan yang sama seperti halnya shalat berjamaah.
Oleh karena
itu, sebagaimana dalam penjelasan Alwasilah (2005:25) metode
menulis yang lebih baik adalah menulis berjamaah atau
kolaborasi. Kolaborasi adalah kegiatan menulis yang melibatkan teman sejawat
untuk saling mengoreksi. Kolaborasi disebut juga sebagai ajang bertegur sapa
dan bersilaturahmi ilmu pengetahuan. Pada dasarnya metode menulis ini
memberikan kesempatan bagi setiap orang yang terlibat untuk mengembangkan
potensi dan kesenangannya masing-masing.
Sedangkan Hyland
(2003:27) berpendapat
bahwa “Writing is a purposeful and communicative activity that
responds to other people and other texts.” Menulis adalah aktifitas yang
komunikatif dimana penulis menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk
disalurkan melalui teks. Karena menulis itu komunikatif, maka menulis tidak
cukup dilakukan secara individu. Melainkan menulis harus dikomunikasikan
bersama-sama dengan orang lain (pembaca). Karena bagaimanapun teks itu ditulis
oleh penulis untuk dibaca dan dinikmati orang lain.
Metode kolaborasi ini sangat baik dijadikan solusi untuk mengembangkan kemampuan
menulis. Karena dalam metode ini, dalam kelompok setiap individu diwajibkan
memiliki pengetahuan yang memadai untuk mengoreksi hasil tulisan orang lain.
Namun, masalah yang dihadapi oleh penulis pemula saat ini
adalah tidak meratanya pemahaman menulis setiap individu penulis. Secara langsung
hal ini
disebabkan oleh rendahnya kemampuan membaca kritis mereka.
Tentang Teknik Kolaborasi
Teknik kolaborasi yang digagas oleh Alwasilah (2005:26) mengasumsikan
pentingnya kerja sama
atau
kooperatif dalam kelompok. Dalam kelompok, setiap orang menjalankan fungsi dan
perannya masing-masing untuk bersama-sama membaca dan mengoreksi
kesalahan-kesalahan tulisan sesama (penulis pemula) dalam kelompok tersebut.
Oleh karena itu, tiap individu dituntut mempunyai kemampuan membaca kritis yang mumpuni. Akan tetapi duo Alwasilah dalam buku mereka Pokoknya
Menulis
tidak menjelaskan lebih detail mengenai pentingnya kemampuan
membaca kritis.
Krashen (1984) dalam Alwasilah (2005:43) menerangkan bahwa ada
keterkaitan yang sangat kuat antara membaca dan menulis. Hal ini menunjukan
bahwa penulis yang baik itu mempunyai banyak buku, gemar membaca buku dan
mempunyai ketergantungan yang sangat kuat terhadap buku. Maka dari itu dalam
berkolaborasi, dengan banyak membaca (kritis) akan memperluas wawasan dan juga
memperkaya tulisan.
Oleh karena itu, sebelum masuk pada ulasan mengenai teknik menulis kolaborasi seyogianya setiap penulis pemula menguasai terlebih dahulu
kemampuan membaca kritis. Seperti yang telah diulas sebelumnya bahwa kelemahan utama
yang
dimiliki penulis pemula adalah lemahnya kemampuan membaca kritis. Karena menulis tidak hanya sekadar menuangkan bahasa ujaran kedalam tulisan, tetapi
merupakan sebuah mekanisme curahan ide, gagasan dan ilmu pengetahuan. Sehingga
menulis memerlukan pemahaman yang mumpuni yang hanya bisa
didapatkan melalui membaca kritis.
Karland (2008) mendefinisikan bahwa membaca kritis merupakan suatu
cara membaca yang lebih aktif. Cara ini adalah sebuah metode yang lebih dalam
dan lebih kompleks dalam menghayati sebuah teks. Membaca kritis adalah sebuah
proses dari analyzing, interpreting dan evaluating. Ketika
membaca secara kritis, kemampuan berpikir kritis diperlukan untuk
“mempertanyakan” teks tersebut. Dari proses analyzing (menganalisa), interpreting
(menafsirkan), dan evaluating (menilai) sebuah teks, maka setidaknya
harus ada dua hal yang perlu dipersiapkan ketika membaca kritis, yaitu self-reflection
(pengalaman, asumsi, dan perspektif apa yang dibawa ketika membaca) dan
read-comprehension (pemahaman terhadap teks dan konteks).
Pengetahuan tentang membaca kritis sangat penting. Karena bagaimanapun,
membaca kritis adalah fondasi yang paling mendasar dari kegiatan tulis-menulis.
Oleh karenanya, menulis kolaboratif dapat masuk akal jika semua orang yang
terlibat dalam kolaborasi mengerti betul tentang membaca kritis. Setelah
mengetahui tentang mambaca kritis maka menulis kolaboratif dapat dilakukan. Berikut
ini adalah teknik dasar dalam menulis kolaboratif:
1)
Memberi
Kritik dan Respons
Alwasilah (2005:109) menyatakan bahwa berbahagialah jika tulisan
itu dibaca dan dikritik orang. Ini adalah bagian dari membaca kritis. Dalam
pendekatan proses, tujuan dari kegiatan berkelompok adalah saling memberi
respons kepada sejawat untuk mendapatkan reaksi pembaca terhadap tulisan,
menilai apakah tulisan itu jelas dan mudah dipahami orang lain dan juga
mendapatkan saran untuk perbaikan (revisi) dan proofreading.
2) Memberi Komentar Tulisan
Manfaat dari kolaborasi adalah adanya komentar-komentar pembaca yang
sangat berharga untuk perbaikan tulisan. Oleh karena itu, komentar harus
komunikatif sehingga tidak ada salah pengertian. Tugas seorang reviewer adalah
memberi masukan atau komentar yang dapat meningkatkan mutu tulisan. Sehingga
pengetahuan dan pemahaman sang reviewer sangat diperlukan disini.
Tahapan Menulis Kolaboratif
Menulis kolaboratif yang dipaparkan
oleh Alwasilah (2005:26) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu prewriting,
drafting, dan revising/editing. Tahap prewriting adalah
tahapan dimana penulis membaca berbagai sumber untuk tulisannya. Sedangkan pada
tahap drafting, penulis memetakan kerangka karangan (outline)
lalu mengembangkannya menjadi teks yang utuh. Lalu yang terakhir adalah revising
yaitu penulis berkolaborasi dengan dua sejawat atau lebih untuk mendapatkan
koreksi berupa kritik, komentar dan respons tentang tulisan/teks tersebut. Hal
inilah yang membuat revising sangat diperhatikan dalam menulis
kolaboratif.
Akan tetapi di
sisi lain, menulis kolaboratif secara sadar tidak hanya mensyaratkan adanya dua orang lebih
sejawat (reviewer), tapi juga mensyaratkan kedewasaan intelektual (intellectual
maturity) dan kedewasan pribadi
(personal maturity) yang konsisten. Dua hal
inilah yang membedakan menulis kolaboratif dengan kegiatan menulis yang
lainnya. Kedewasaan pribadi merupakan modal awal untuk bisa bekerjasama dalam
kolaborasi. Sedangkan kedewasaan intelektual merupakan inisiatif diri untuk
menunjukan kualitas kritis terhadap kekurangan dan kelemahan tulisan orang
lain.
Sebagaimana Alwasilah
(2005:64) menjelaskan bahwa garis besar revising/review atau
koreksi yang dilakukan oleh teman sejawat adalah mencermati tiga aspek analisis
terpenting. Ke-tiga aspek itu adalah konten, gaya, dan struktur tulisan. Dari
ke-tiga aspek itu, konten merupakan kategori analisis yang berbobot, sehingga
perlu pendalaman pengetahuan dan pemahaman yang matang dari seorang reviewer
untuk mengeksekusi tulisan yang disuguhkan oleh penulis.
Dalam metode
kolaborasi yang dikemukakan oleh Alwasilah (2005:26 dan 35) revisi konten
tulisan itu menyangkut dua hal, yaitu: 1) dosa kecil, dan 2) sampah karangan.
Dosa kecil adalah kesalahan-kesalahan mekanik dalam karangan seperti tanda baca
dan ejaan. Sedangkan sampah karangan adalah kalimat atau sekumpulan kata yang
tidak berfungsi dan mengganggu untuk dibaca. Hal-hal inilah yang menjadi fokus
analisis untuk mendapatkan corrective feedback.
Mengenai ini, Fowler
(2006:136) menyatakan bahwa “Revision need never stop; every time you reread
a piece and see possible improvements, you should probably make them.” Revisi
itu tidak pernah berhenti, setiap kali membaca ulang dan melihat ada
kemungkinan untuk perbaikan maka disitu harus ada revisi. Dalam menulis
kolaboratif yang digagas oleh Alwasilah, revisi atau perbaikan tulisan yang
dilakukan adalah setidaknya empat kali. Dengan kata lain, revisi tulisan harus
benar-benar matang sebelum pada akhirnya diberikan kepada imam (baca: dosen)
untuk mendapatkan feedback lain. Sebenarnya jika memang perlu, koreksi
itu sebaiknya dilakukan lebih dari empat kali. Karena seiring dengan terjadinya
proses saling mengoreksi, maka akan semakin baik kemampuan dan pengetahuan
penulis maupun sang reviewer.
Ragam Teks Kolaborasi
Pada dasarnya,
metode kolaborasi sangat cocok untuk diterapkan pada setiap jenis teks atau
tulisan/karangan. Baik itu berupa teks fiksi maupun non fiksi. Contoh jenis
teks yang termasuk kedalam teks fiksi yaitu seperti puisi, cerita pendek, dan
narasi. Sedangkan jenis teks non fiksi ialah eksposisi, deskripsi, dan esai.
Akan tetapi teks jenis non fiksi merupakan jenis teks yang dapat dieksplorasi
lebih jauh dengan menulis kolaboratif dibandingkan dengan teks fiksi. Hal ini
karena teks non fiksi dapat terus berubah sesuai dengan masukan dan kritik
pembaca (reviewer) bukan hanya didasarkan pada keinginan dan kesenangan
penulis saja.
Coe (2002)
dalam Hyland (2009:68) menjelaskan bahwa “A genre is neither a
text type nor a situation, but rather the functional relationship between a
type of text and a type of situation. Text types survive because they work,
because they respond effectively to recurring situations.” Text types
juga adalah kasus yang esensial dalam functional linguistic. Karena analisis
ragam teks atau tulisan sangat bergantung pada seberapa jauh pemahaman dan
eksplorasi mengenai karakteristik tulisan itu sendiri. Dengan kata lain, penulis
harus dapat membedakan antara teks fiksi maupun non fiksi yang akan
dikembangkan lebih lanjut dalam menulis kolaboratif.
Peran Seorang Reviewer dalam
Menulis Kolaboratif
Alwasilah (2005:28) menyatakan bahwa semakin banyak
pembaca (reviewer) memberi komentar maka semakin banyak pelajaran yang
didapat dan pasti semakin baik mutu karangan. Hal ini bararti bahwa pembaca (reviewer)
mempunyai peran yang sangat penting. Teman sejawat sebagai reviewer mempunyai
keterlibatan yang kompleks dalam menulis kolaboratif. Oleh karena itulah seperti
yang telah disinggung sebelumnya bahwa seorang reviewer harus mempunyai
kedewasaan intelektual (intellectual maturity) maupun kedewasaan pribadi (personal maturity) yang ajeg.
Maka dari itu, dibutuhkan keseimbangan peran antara penulis dan
reviewer dalam menulis kolaboratif. Hal ini penting karena tanpa adanya
inisiatif (penulis) untuk terus menerus mengeksplorasi gagasan lewat sumber
yang beragam dan komitmen serta tanggung jawab (reviewer) yang tangguh, tidak
akan mungkin pemikiran mengenai menulis kolaboratif bisa terlaksana dengan
benar. Di samping itu, seorang reviewer juga harus mampu meningkatkan mutu
tulisan yang dibuat oleh penulis. Dengan demikian maka kegiatan menulis
kolaboratif secara logis dapat diterima oleh akal sehat.
Evaluasi Menulis
Kolaboratif
Menulis kolaboratif yang diusulkan oleh Alwasilah lebih
mengutamakan nilai proses dibandingkan nilai akhir tulisan. Karena kegiatan
menulis adalah sebuah proses sehingga penilaian formatif merupakan jenis
evaluasi yang dipilih dalam menulis kolaboratif. Akan tetapi jenis penilaian
ini disamping baik untuk pengembangan metode menulis kolaboratif juga mempunyai
kelemahan. Kelemahannya yaitu banyak waktu guru/dosen/instruktur yang tersita
untuk menilai satu per satu tulisan.
Sebagaimana Hyland (2003:21) berpendapat bahwa “Importantly,
writing is the outcome of activity, rather than an activity itself.” Hal
yang paling penting dari kegiatan menulis adalah hasil atau produk karangan
dari aktifitas tersebut. Pendekatan proses yang digadang dalam metode
kolaborasi menilai karangan berdasarkan suatu perjalanan panjang yang
membutuhkan kesabaran. Karena menulis adalah proses yang mengaitkan pengetahuan
yang ada dengan pengetahuan yang baru. Dengan metode ini penulis dinilai
berdasarkan kemampuannya mereproduksi sumber-sumber bacaan yang relevan dengan
karangannya.
Menulis adalah kegiatan yang berasas proses. Oleh karena itu, konsep
mengenai penilaian formative menjadi isu yang harus dihadapi oleh
guru/dosen/instruktur menulis. Bagaimanapun, penilaian secara formatif merupakan
konsekuensi dari penerapan metode menulis kolaboratif. Hal inilah yang membuat
menulis harus diimbangi dengan pengawasan yang tinggi dari seorang guru
menulis. Akan tetapi seperti yang telah diketahui bahwa menilai proses akan
sangat melelahkan dan juga bahkan ‘menghantui’ hari-hari sang
guru/dosen/instruktur.
Jadi, penilaian
formatif mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam praktiknya. Tetapi jenis
penilaian ini dinilai sesuai dengan metode kolaborasi yang lebih mengutamakan
proses ketimbang hasil akhir. Penilaian yang berasaskan proses menjadikan
penulis menguasai keterampilan menulisnya sendiri secara mandiri. Sehingga,
tujuan menulis dengan metode kolaborasi sebagai solusi pembelajaran menulis
dapat tercapai dengan baik.
Referensi
Alwasilah, Chaedar and Senny Suzanna. (2005). Pokoknya Menulis.
Bandung: Kiblat.Hyland, Ken. (2009). Teaching and Researching Writing 2nd
Edition. Great Britain: Longman
2003. Second
Language Writing. Cambridge University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar