Jumat, 16 Oktober 2015

Mengeksplorasi Unit Skala Peringkat (Rank Scale) dalam Functional Grammar

Mengeksplorasi Unit Skala Peringkat (Rank Scale) dalam Functional Grammar
Oleh: Denny Nugraha
Tadris Bahasa Inggris Semester 5 (B)
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon

Pendahuluan
            Chapter review ini diniati sebagai ulasan eksploratif mengenai kajian rank scale (clause, group, dan word) dalam fokus Functional Grammar. Setiap konsep dan penjabaran yang dihadirkan dalam unit ini, merujuk kepada pencetus lahirnya kaidah Functional Grammar yaitu M.A.K. Halliday (2004). Dimensi penjelasan dan kajian pada unit ini yaitu berawal dari klausa (clause), grup (group) dan kata (word) secara berurutan. Oleh karena itu, unit ini akan bermuara kepada unit kata (word) sebagai unit gramatikal terendah dalam skala peringkat (rank scale).

Skala Peringkat Tertinggi (Klausa)
            Klausa merupakan unit gramatikal tertinggi dalam sistem skala peringkat (rank scale). Karena klausa (clause) adalah sebuah kombinasi dari tiga struktur yang berbeda yang berasal dari komponen-komponen fungsional tersendiri yang disebut sebagai ‘metafungsi’ dalam teori sistemik (Halliday, 2004 p.320). Metafungsi bahasa yaitu ideational (klausa sebagai representasi), interpersonal (klausa sebagai pertukaran), dan textual (klausa sebagai pesan) yang kemudian disebut sebagai tiga komponen fungsional makna ini bersama-sama membentuk klausa dengan caranya tersendiri.
            Dalam rank scale, klausa dibagi kedalam dua tipe yang berbeda yaitu finite-clause dan nonfinite-clause. Finite-clause merupakan jenis klausa yang mengandung subject (nominal group) dan finite (finite-verb). Subject (nominal group) bisa merupakan noun (benda) yang meliputi benda seperti car, table, phone dan juga bisa merupakan pronoun (kata ganti orang) seperti Andi, they, we dan sebagainya. Sedangkan finite (finite-verb) meliputi semua jenis kata kerja seperti transitive, intransitive, intensive dan lain-lain kecuali bentuk kata kerja to-infinitive, present participle, dan ed-participle. Contoh dari finite clause adalah; ‘They play football’ (subject + transitive verb) dan ‘She sleeps’ (subject + intransitive verb). Sedangkan nonfinite clause merupakan klausa yang mengandung nonfinite verb meliputi bentuk kata kerja to-infinitive, ing-participle, dan ed-participle. Klausa ini biasanya tidak memiliki subject, contohnya adalah; ‘In order to save money’ dan ‘Having stayed in their house’.

Skala Peringkat dibawah Klausa (Grup)
            Perbedaan antara klausa dan grup dalam teori sistemik adalah hanya dalam satu derajat. Namun cukup memungkinkan kita untuk menganalisa struktur grup dalam satu operasi makna (metafungsi), daripada dalam tiga operasi sekaligus sebagaimana kita melakukannya pada klausa. Grup ekuivalen terhadap word-complex yaitu kombinasi dari kata-kata yang dibangun pada basis hubungan logika. Hal inilah yang kemudian dapat membedakan antara grup dengan phrase. Grup merupakan ekspansi (perluasan) dari kata sedangkan phrase adalah penyusutan dari sebuah klausa (Halliday, 2004 p. 311). Oleh karena itu, istilah ‘group’ lebih dipilih sebagai unit yang terletak diantara peringkat sebuah klausa dan kata daripada ‘phrase’.
            Dalam skala peringkat, grup dibagi kedalam empat jenis yang berbeda. Keempat jenis itu ialah nominal group, adjectival group, adverbial group, dan prepositional phrase. Nominal group merupakan kelompok yang memiliki head sebagai noun (benda) yang dapat merepresentasikan noun seperti car, chair, cup dll., dan pronoun seperti Andy, they, we dll. Adjectival group adalah kelompok yang memiliki head sebagai adjective (sifat) yang berfungsi memodifikasi (modifier) nominal group, contohnya adalah beautiful, bad, kind dll. Adverbial group adalah kelompok yang memiliki head sebagai adverb (keterangan) yang berfungsi memodifikasi (modifier) finite (finite-verb) dan adjectival group, contohnya adalah beautifully, carefully, quickly dll. Sedangkan prepositional phrase merupakan bagian yang dibedakan dari grup meskipun memiliki status yang sama dalam rank scale. Prepositional phrase memiliki fungsi yang sama seperti halnya adverbial group yaitu sebagai circumstance, namun prepositional phrase lebih ekspresif karena dilengkapi oleh kehadiran nominal group didalamnya, contohnya adalah; in the house, without doubt, out of range dll. Dalam rank scale, prepositional phrase memiliki operator sebagai preposition (kata depan) dan nominal group yang berfungsi sebagai complementiser (pelengkap).

Skala Peringkat Terendah (Kata)
            Kata (word) dalam rank scale menempati posisi terendah dan tidak mempunyai klasifikasi khusus tersendiri seperti halnya clause dan group. Hal ini disebabkan karena dalam kajian Functional Grammar, word dapat diklasifikasikan sebagai kategori leksikal atau gramatikal. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa klasifikasi kata itu tidaklah absolut (Emilia, 2014 p. 60). Selain itu, dalam rank scale juga dijelaskan bahwa kata adalah kelas yang berfungsi secara gramatikal sebagai konstituen (unsur pokok) dari sebuah grup. Baik itu nominal group, adjectival group, adverbial group, maupun prepositional phrase menggunakan dan menempatkan kata (opsional) secara berbeda. Hal ini juga nantinya akan menentukan jenis klausa yang terbentuk.

Kesimpulan
            Rank scale merupakan bentuk pemeringkatan dalam bahasa. Dalam hal ini, bahasa Inggris memiliki sistem pemeringkatan layaknya dalam sebuah angkatan militer. Masing-masing unit dari peringkat tersebut terdiri dari unit-unit yang berada dibawahnya (kecuali kelas kata). Contohnya dapat dilihat dari ujaran ‘Stop!’ dan ‘Come!’, dua bentuk ini adalah klausa karena sudah termasuk satu unit gramatikal. Baik klausa ‘Stop!’ maupun ‘Come!’ terdiri atas satu grup (finite) yang kemudian terdiri atas satu kata (Halliday, 2004 p. 9).
Referensi
Halliday, M.A.K dan Matthiessen, M.I.M. (2004). An Introduction to Functional Grammar. London: Hodder Arnold.
Emilia, E. (2014). Introducing Functional Grammar. Bandung: Pustaka Jaya.
Gerot, L dan Wignell, P. (1995). Making Sense of Functional Grammar. Sydney: Gerd Stabler.
Halliday, M.A.K dan Matthiessen, M.I.M. (2014). Halliday’s Introduction to Functional Grammar 4th Edition. London: Routledge.

Download Full Text Here 

Senin, 12 Oktober 2015

KOSA KATA BENDA (NOUN VOCABULARY)

By: Denny Nugraha - Philia Puspitasari - Siti Nurkomalasari - Mega Nudiya Amburika
TBI-B-V
IAIN Syekh Nurjati Cirebon

3. Kosa Kata Benda (Noun)
Kata benda membentuk mayoritas kosa kata dalam bahasa Inggris. Hal ini membuat kata benda merupakan kosa kata yang kaya akan makna dan keterhubungan yang sangat kompleks daripada jenis kata lainnya yang ada dalam bahasa Inggris. Kosa kata benda berbeda dengan kosa kata sifat (adjective) yang bersifat uni-dimensi, sehingga dapat dikatakan bahwa kosa kata benda lebih bersifat multi-dimensi, yakni mempunyai jangkauan makna yang lebih luas dan beragam daripada kata sifat. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam hubungan dan istilah yang ada dalam kaitannya dengan kosa kata benda.
3.1. Hubungan-kepunyaan (the has-relation)
Kata-kata benda dimaknakan oleh beberapa kata benda lain yang menggambarkan bagian-bagian yang dimiliki oleh suatu kata benda. Seperti pada contoh kata benda yang digambarkan oleh sisi-sisinya yang lurus dan tertutup itu disebut sebuah “segitiga” jika dan hanya jika benda tersebut mempunyai tiga sisi. Hal ini menunjukan hubungan entailment; benda itu adalah segitiga à (berarti) benda itu mempunyai tiga sisi. Dengan hubungan ini, kita dapat menggambarkan/menyebutkan bagian-bagian dari kata benda yang ada jika hubungan-kepunyaan ini dinyatakan sesuai dengan bentuk dasar (default) kata benda tersebut yang disebut prototypes.
Prototypes adalah bentuk dasar yang jelas dan sentral yang menunjukan sebuah kata benda. Contohnya ketika kita menggambar sebuah wajah, maka kita tentu akan menggambar dua bola mata, sebuah hidung, dua buah telinga dan sebuah mulut. Hal ini menunjukkan bahwa kata benda “wajah” mempunyai sebuah mulut, sebuah hidung, dua buah mata dan dua buah telinga. Seperti juga ketika kita menggambar sebuah rumah, maka prototypes-nya adalah benda yang mempunyai pintu, atap, dan jendela adalah sebuah rumah. Namun prototype dari sebuah rumah atau wajah mungkin mempunyai hal-hal yang lain disamping yang telah disebutkan diatas.
Entailment yang dibuat berdasarkan prototypes yaitu adalah; Ada sebuah rumah disana à ‘jika itu merupakan prototype untuk “rumah”, maka rumah tersebut mempunyai atap’; seorang anak menggambar sebuah wajah à ‘jika wajah yang digambar itu merupakan prototype atau bentuk dasar dari sebuah wajah, anak tersebut menggambar sebuah mulut’. Kata “jika” yang digunakan diatas menunjukkan bahwa rata-rata kata bahasa Inggris tidak secara ketat mendefinisikan sebagaimana kata-kata teknis seperti segitiga dan persegi.

3.1.1. Kesimpulan Pragmatis dari hubungan-kepunyaan
Hubungan-kepunyaan, terbatas pada prototype, adalah dasar dari untuk beberapa ekspektasi pragmatis kita dalam penggunaan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah pergantian dari indefinite ke definite articles. Sebuah noun phrase yang pertama kali menyebut kata benda kedalam sebuah percakapan itu biasanya menggunakan indefinite articles (a,an). Tetapi pada penyebutan kedua dari sebuah benda yang sama akan digunakan sebuah definite article yaitu the. Contoh:
a.       A: “I’ve bought a house.” B: “Where’s the house?” (bukan: “Where’s a house?”)
b.      C: (seorang anak menunjukkan sebuah gambar): “I drawed a face.” D: (merespon pada anak tersebut dan berkomentar tentang gambar anak tersebut): “I like the face you drew.” (bukan: “I like a face you drew.”).

3.1.2. Bagian-bagian dapat memiliki bagian-bagian
Pada bagian ini, kata benda menunjukkan sebuah label didalam hubungan-kepunyaan yang mempunyai bagian, yang pada gilirannya juga mempunyai bagian-bagian lain dibawahnya. Contoh pada label “Suburb” dibawah ini:
A suburb à has houses, A house à has windows, A window à has panes.
A suburb à has streets, A street à kerbs.
Pada diagram diatas, rumah-rumah (houses) dan jalanan (streets) merupakan bagian dari daerah pinggiran kota (suburb), yang kemudian mempunyai bagian-bagian yang lain dibawahnya. Namun disisi lain, pada kata “kerbs” tidak harus menjadi bagian dari sebuah jalan, mungkin itu juga merupakan bagian dari lapangan parkir.

3.1.3. Bagian-bagian yang bersifat spasial
Sebuah bentuk dasar (prototype) ‘thing’, seperti sebuah batu dapat dikatakan mempunyai sisi atas, bawah atau dasar, sisi-sisi dan bagian depan dan belakang. Dua poin yang perlu dicatat mengenai kata-kata ini. Satu yaitu bahwa kata-kata itu sangat umum; sangat banyak macam-macam benda: jendela, kepala, wajah, kaki, bus, pohon, lembah, secara acak hanya beberapa yang mempunyai-sisi atas, belakang, samping, depan dan belakang.
Pragmatis masuk pada interpretasi kata-kata yang bersifat deictic. Makna dari sebuah kata deictic terikat kepada situasi pengucapan. Sisi depan sebuah batu menghadap ke arah pembicara dan sisi belakang membelakangi pembicara, dan sisi samping adalah sisi kanan dan kiri dari sudut pandang pembicara. Contoh lain adalah sebuah bus yang secara intrinsik mempunyai sebuah non-deictic sisi atas, bawah, samping, depan dan belakang. Sisi atas sebuah bus adalah atapnya, sisi depan sebuah bus adalah ujung supir, tidak peduli darimana si pembicara melihatnya dan seterusnya. Disisi lain, seorang penyelamat yang berada diatas sebuah bus yang terbalik, secara deictic tidak berada diatas bus (on the top of bus). Berikut ini adalah daftar benda yang mempunyai bagian spasial yang inheren dan benda yang mempunyai bagian yang spasial hanya secara deictic:
Ø  Benda yang mempunyai bagian spasial inheren : People (orang), houses (rumah), trees (pohon) (atas, dasar, samping), hills (bukit) (atas, dasar, samping), animals (binatang), pianos (piano).
Ø  Benda yang mempunyai bagian spasial hanya secara deiktik: Balls (bola), planets (planet) (dalam percakapan antara amatir melalui sebuah teleskop), trees (pohon) (depan, belakang), hills (bukit) (depan, belakang).

3.1.4. Ujung (akhir) dan Pangkal (awal)
Benda-benda yang tipis dan panjang memiliki ujung, dan kadang-kadang dua jenis ujung yang berbeda dibedakan: pangkal dan ujung. Sebuah daftar beberapa benda-benda yang secara prototypical atau mendasar mempunyai ujung yaitu: rope (tali), pieces of string ( potongan benang, senar), kapal (buritan dan haluan), jalan, kereta api, dan papan.
Kata benda yang menunjukkan periode waktu mempunyai ujung dan pangkal, juga mempunyai tengah/pertengahan. Contohnya adalah sebagai berikut:
a.       Hari, minggu, bulan, era/zaman, masa, semester, abad.
b.      Percakapan, demonstrasi, upacara, makan, penyambutan/penerimaan, proses.

3.1.5. Beberapa bagian-bagian yang lain
Tubuh manusia adalah sebuah sumber bahasa metafora. Contohnya adalah lose one’s head (kehilangan kepala seseorang), yang berarti ‘panic’ (panik). Hubungan-kepunyaan menggunakan antara berbagai kata yang menunjukkan bagian-bagian tubuh manusia. Kata person adalah sebuah kata yang ambigu yang menunjukkan jasmani atau fisik seseorang yang bisa jadi besar atau jelek – atau psikologis seseorang – yang bisa jadi ramah atau bodoh dan seterusnya. Fisik seseorang secara mendasar mempunyai sebuah kepala, sebuah batang tubuh, dua tangan, dua kaki, kemaluan, dan kulit. Bagian-bagian ini dan beberapa bagian-bagian yang mereka punya, diperlihatkan dibawah ini:
-          A person has a head, a torso, arms, legs, genitals, skin (seseorang mempunyai sebuah kepala, sebuah batang tubuh, lengan, kaki, kemaluan, dan kulit).
-          A head has a face, hair, forehead, jaw (sebuah kepala mempunyai sebuah wajah, rambut, dahi, dan rahang).
-          A face has a mouth, nose, chin, eyes, cheeks (sebuah wajah mempunyai sebuah mulut, hidung, dagu, mata, dan pipi).
-          A mouth has lips (sebuah mulut mempunyai bibir).
-          A torso has a chest, back, belly, shoulders (sebuah batang tubuh mempunyai sebuah dada, punggung, perut, dan bahu).
-          An arm has an upper arm, forearm, biceps, elbow, wrist, hand (sebuah lengan mempunyai lengan atas, lengan bawah, otot bisep, siku, pergelangan tangan, dan tangan).
-          A hand has a palm, fingers, knuckles (sebuah tangan mempunyai sebuah telapak tangan, jari-jari, kuku)..
-          A person’s skin has pores (kulit manusia mempunyai pori-pori).
Sebuah bentuk dasar dari kursi mempunyai punggung, dudukan, dan kaki. Menariknya kata-kata back (punggung) dan leg (kaki) adalah juga bagian dari label tubuh manusia. Label-label bagian tubuh manusia seperti kepala, leher, kaki, dan mulut digunakan untuk memberikan label bagian-bagian dari sebuah jangkauan benda-benda yang luas: contohnya, sebuah gunung mempunyai kepala (puncak) dan kaki; botol-botol mempunyai leher, gua dan sungai mempunyai mulut. Rupanya inimengindikasikan bahwa kecenderungan seorang manusia untuk menafsirkan dan memberi label dunia melalui analogi dengan apa yang kita paling mengerti dengan baik sekali, seperti tubuh kita sendiri.
3.2. Hiponimi
Hiponimi adalah hubungan kata dengan kata lain yang dicakupi di bawahnya. mengatakan bahwa hiponimi adalah hubungan antara kata yang umum dengan kata yang lebih khusus. Sebagai contoh yang menggambarkan kata benda: sebuah rumah (house) merupakan salah satu jenis bangunan, adapun pabrik, gereja, masjid, gedung merupakan jenis lain dari bangunan. Dan bangunan merupakan salah satu jenis struktur.  Hiponimi pada tingkat atas disebut superordinate dan pada tingkat bawah disebut hiponim (=Inggris hyponym).  Misalnya, Bangunan merupakan superordinate dari rumah, pabrik, gedung, dan sebagainya, sedangkan rumah, pabrik, gedung dan sebagainya merupakan hiponim dari bangunan.
Hiponimi mengandung hubungan logis  pada entailment, artinya kalau kita sudah mengatakan hiponimnya maka kita dapat membayangkan nama kelompoknya, dan kalau kita sudah menyebut nama kelompoknya, maka kita dapat menyebutkan hiponimnya.  Misalnya kalau kita menyebut rumah maka kita telah mengetahui bahwa rumah termasuk bangunan, dan kalau kita menyebut bangunan, maka sudah termasuk di dalamnya, rumah, pabrik, dan sebagainya.
3.2.1. Hierarkhi Hiponim
Relasi hiponimi bersifat searah, bukan dua arah, sebab kalau rumah berhiponim dengan bangunan, maka bangunan bukan berhiponim dengan rumah, melainkan berhipernim. Dengan kata lain, kalau rumah adalah hiponim dari bangunan, maka bangunan adalah hipernim dari rumah. Ada juga yang menyebut bangunan adalah superordinate dari rumah (dan tentu saja dari pabrik, dari gereja, dan dari jenis bangunan lainnya). Hubungan antara rumah dengan pabrik gereja, dan jenis bangunan lainnya di sebut kohiponim dari bangunan.

Relasi semantik antara penggolongan (superordinate atau hiponim). Hiponimi adalah hubungan makna yang mengandung pengertian hierarki. Hubungan hiponimi ini dekat dengan sinonimi. Misalnya kata thing sebagai penggolong atau hipernim memiliki ciri semantik: of building

Building     hiponim dari structur; superordinate of house



House     hiponim dari building

Dari contoh di atas dapat diketahui rumah yang merupakan bawahan dari bangunan ialah  ciri fisik yang berarti bahwa rumah tidak hanya hyponym bangunan, tetapi juga merupakan hyponym dari atasan langsung bangunan, struktur; dan, melalui struktur, rumah juga merupakan hyponym. Sedangkan rumah dan pabrik yang merupakan hiponim atau bawahan dari bangunan memiliki semua ciri dari bangunan. Karena itu hubungan keduanya disebut kohiponim.   
Miller dan Fellbaum (1991) melaporkan perkembangan WordNet, database kata makna dari bahasa Inggris. Pada 1991 WordNet terdapat lebih dari 54.000 kata yang berbeda. Dalam menciptakan database, mereka menemukan bahwa hirarki hyponym dengan dua puluh enam superordinates tingkat tinggi, seperti waktu, tanaman, hewan dan sebagainya, 'menyediakan tempat untuk setiap noun' (1991: 204). Pada Gambar 3.5 sebagian besar berdasarkan deskripsi mereka hirarki hyponym untuk kata benda dalam bahasa Inggris lebih dominan. Berdasarkan hal tersebut, berikut ini adalah ringkasan mengenai hiponim dan hubungan kata benda:
-       Relasi antara penggolongan atau hipernim dengan hiponim-hiponimnya adalah relasI yang bersifat atas bawah atau searah.
-       Hiponimi mengandung hubungan logis  pada entailment, artinya kalau kita sudah mengatakan hiponimnya maka kita dapat membayangkan nama kelompoknya, dan kalau kita sudah menyebut nama kelompoknya, maka kita dapat menyebutkan hiponimnya.
-       Masalah hiponim dan hipernim sebenarnya tidak lain dari usaha untuk membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan spesifik.
-       Bentuk ujaran yang secara semantik menyatakan generik ada kemungkinan menjadi sebuah bentuk ujaran spesifik, dan bentuk ujaran yang spesifik dapat juga menjadi bentuk generik dalam tataran yang lebih luas lagi.
-       Ciri-ciri semantik yang ada pada hipernim atau penggolongnya juga dilmiliki oleh hiponim-hiponimnya.
-       Relasi antara hiponim-hiponim dapat disebut kohiponim karena hiponim memiliki semua ciri semantik dari hipernim.

3.2.2. Hiponim dan Hubungan kepunyaan (The has-relation)
            Dua hubungan semantik ini hendaknya tidak dibingungkan: hiponimi adalah tentang kategori-kategori yang dikelompokkan dibawah istilah superordinat. Contohnya adalah tandem, ATB, tourer, dan racer merupakan macam-macam dari sepeda dua roda, dan sepeda dua roda, satu roda, dan tiga roda merupakan macam-macam dari sepeda. Tetapi hubungan kepunyaan memperhatikan bahwa bagian-bagian yang merupakan anggot-anggota yang bersifat prototipikal dari kepunyaan kategori diatas, contoh, sebuah bentuk dasar sepeda mempunyai ban, sebuah kerangka, setir, dan pedal, sepeda roda dua mempunyai bagian-bagian ini juga dan juga mempunyai rantai. Tetapi tentu saja, sebuah sepeda roda dua tidak memiliki tandem, dan sebuah rantai bukanlah jenis dari sepeda roda dua.
            Sebuah bentuk dasar sebuah benda mempunyai karakteristik yang secara umum dimiliki oleh semua bagian dibawahnya. Contohnya adalah; sebuah bentuk dasar sebuah pohon mempunyai daun, maka semua jenis pohon (hiponim dari sebuah pohon) secara umum mempunyai ciri-ciri yang sama seperti kebanyakan pohon. Misalkan juga bentuk dasar dari sebuah rumah mempunyai pintu dan jendela, begitu juga dengan superordinat dari sebuah rumah yaitu bangunan mempunyai pintu dan jendela. Hal ini disebut sebagai inheritance, yaitu adalah pewarisan sifat dari sebuah superordinat kepada hiponim yang berada dibawahnya.

Kesimpulan
            Kosa kata benda mempunyai banyak sekali kajian semantik yang luas dan bervariasi. Hal ini ditunjukkan bahwa setiap kata benda bisa merujuk pada makna yang sama, seperti terlihat dalam pembahasan mengenai hubungan kepunyaan (the has-relation). Melalui hubungan ini dapat dikatakan bahwa kata benda selalu dilihat dari bagaimana bentuk dan hal-hal apa yang dimilikinya. Bagian-bagian yang dimiliki tersebut dapat mempunyai bagian-bagian lain yang merupakan sesuatu yang ada dalam bagian benda tersebut. Definisi kata benda juga dapat ditentukan dari bagian yang secara umum ke khusus, yaitu lewat hubungan superordinat dan hiponimi. Hiponim merupakan hubungan kata benda yang menunjukkan keterkaitan kata benda yang satu dengan yang lainnya secara hierarkhis.

Daftar Pustaka


Griffiths, Patrick. 2006. An Introduction to English Semantics and Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Menjelajah Kajian Kompleks antara Teks dan Grammar

Download Full Text Here
Menjelajah Kajian Kompleks antara Teks dan Grammar
Oleh: Denny Nugraha
Tadris Bahasa Inggris (TBI-B) Semester V
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon


Pendahuluan
Chapter review ini diniati sebagai ulasan dan tinjauan mengenai penjelajahan kompleksitas teks dengan grammar yang digaungkan oleh linguist besar M.A.K Halliday (2004). Unit-unit gagasan yang akan diulas dalam tulisan ini mencakup tiga hal mendasar dalam fokus Functional Grammar seperti yang diterangkan oleh Halliday yaitu: kriteria teks dan grammar, relasi antara teks dan grammar, identifikasi grammar dalam teks.

Kriteria Dasar Teks dan Grammar
            Definisi mengenai teks sudah banyak dibahas dan merupakan satu kajian yang umum di dunia linguistik terapan (applied linguistics). Selama kita berbahasa, maka selama itulah kita akan bergelut dengan teks. Hal ini secara khusus menyatakan bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari kita selalu menemukan dan menggunakan teks. Kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial menunjukkan bahwa bahasa merupakan kebutuhan yang sangat mendasar. Interaksi sosial yang dibangun oleh dua orang atau lebih dengan menggunakan bahasa tertentu dibangun terlebih dahulu melalui teks.
Suatu kriteria dibutuhkan untuk menjelaskan dan menentukan sebuah teks. Menurut Hoed (2011) dalam Emilia (2014), menyatakan bahwa suatu teks yang dihasilkan menggunakan bahasa tertentu pertama kali dirumuskan didalam pikiran, setelah itu diungkapkan entah itu secara lisan ataupun tulisan. Hal ini karena teks merupakan hasil yang mana manusia merumuskan pemikiran dan perasaannya secara verbal dan dengan demikian teks juga merupakan produk dari praktik berbahasa dan berbudaya. Namun sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kriteria dasar dari teks itu tidak hanya terbatas pada bahasa secara verbal, namun juga dapat diungkapkan secara tertulis.
            Sebuah teks hanya dapat digunakan untuk tujuan yang komunikatif ketika teks itu memiliki beberapa kriteria dasar. Pertama, seperti yang telah dibicarakan sebelumnya yaitu ialah wujud dari teks tersebut, yaitu dalam bentuk ujaran (spoken/utterance) dan dalam bentuk tulisan (written). Kedua, sebagaimana menurut Christie (2005) yang dikutip oleh Emilia (2014), menyebutkan bahwa “A text is any meaningful passage of language” yang berarti sebuah teks adalah setiap wacana yang bermakna dari suatu bahasa. Oleh karena itu, sebuah teks hanya dapat disebut sebuah teks jika mempunyai makna tertentu. Tanpa adanya makna, maka teks tidak bisa digunakan dalam komunikasi. Ketiga, sebuah teks harus mempunyai struktur atau kaidah tertentu yang telah disepakati oleh masyakat sebagai pengguna bahasa. Hal ini penting karena jika tidak adanya kaidah bahasa, maka makna yang ada dalam teks tidak dapat tersampaikan. Keempat dan yang terakhir adalah bahwa sebuah teks memiliki sebab dan alasan tertentu yang melatarbelakanginya. Inilah yang disebut dengan konteks dari sebuah teks yang akan dijelaskan lebih lanjut.
            Ada banyak sekali cara atau pendekatan yang digunakan oleh para linguist dalam mendefinisikan grammar. Istilah “grammar” awalnya digunakan untuk mengatur penggunaan bahasa dan juga merupakan standar yang telah ditetapkan bagi masyarakat pengguna bahasa. Grammar umumnya merujuk kepada segala sesuatu yang berhubungan dengan kaidah atau seperangkat aturan dari sebuah bahasa. Istilah ini juga sering digunakan untuk merunut pada segala sesuatu hal yang menjadi tolak ukur atas pengetahuan seseorang mengenai bahasa yang digunakannya. Pada umumnya, setiap bahasa di dunia ini memiliki apa yang dinamakan grammar. Seseorang yang lahir dan tumbuh di suatu negara tertentu yang masyarakatnya menggunakan suatu bahasa akan secara alami menguasai grammar dari bahasa tersebut.
Untuk menentukan kriteria dari grammar, kita harus terlebih dahulu memahami karakteristik dari grammar. Menurut Derewianka (1998) dalam Emilia (2014) menyatakan bahwa “Grammar is a way of describing how language works to make meaning within a particular culture” yang berarti bahwa grammar merupakan sebuah cara menggambarkan bagaimana bahasa itu bekerja untuk membuat makna dalam sebuah budaya tertentu. Dengan kata lain, adanya grammar membuat bahasa sebagai sistem dan sumber makna (meaning-making resource) dari setiap produk bahasa. Produk bahasa yang dimaksud salah satunya adalah teks yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa sebuah teks yang bermakna harus mempunyai kaidah bahasa yang disebut grammar.
Berdasarkan keterangan diatas, kriteria dasar dari grammar dalam kajian/studi Functional Grammar ditentukan sesuai dengan fungsi dari grammar itu sendiri dalam bahasa. Yang pertama adalah sebagaimana dinyatakan oleh Halliday (1985) dalam Halliday dan Matthiessen (2004) bahwa “Grammar is the central processing unit of language, the powerhouse where meanings are created” maksudnya adalah bahwa grammar berfungsi sebagai unit pemroses pusat dari bahasa dimana makna diciptakan. Hal ini menunjukkan bahwa grammar adalah rujukan sentral untuk membuat teks itu bermakna dalam suatu interaksi. Yang kedua adalah fungsi strukturisasi bahasa oleh grammar. Dengan adanya grammar, maka penggunaan bahasa menjadi lebih sistematis dan mudah dipahami oleh penggunanya. Yang ketiga ialah seperti dinyatakan oleh Butt et al (2000) yang dikutip oleh Emilia (2014) bahwa “Grammar, to many people can also signify a fairly rigid set of rules for speaking and writing, the breaking of which will mark you out as uneducated, unsophisticated or even uncouth”, berarti bahwa bagi banyak orang grammar juga dapat berarti seperangkat aturan-aturan yang agak kaku untuk berbicara dan menulis, yang mana jika kita melanggar aturan-aturan itu kita akan dicap sebagai orang yang tidak berpendidikan dan tidak berbudaya.
Dengan terus berkembangnya kajian bahasa, maka wilayah kajian grammar dan teks pun juga ikut semakin berkembang. Dengan kata lain, sebagaimana Halliday dan Matthiessen (2004) menjelaskan bahwa “text is any instance of language, in any medium, that makes sense to someone who knows the language” berarti teks ialah setiap contoh bahasa, dalam media apa saja, yang dapat diterima oleh seseorang yang mengetahui bahasanya. Dan begitu pula dengan grammar, yang tidak hanya melihat bahasa berdasarkan atas strukturnya atau merupakan sekedar standar aturan belaka, melainkan juga sebagai sumber pembuatan dan penyampaian makna (meaning-making).

Relasi antara Teks dan Grammar
            Teks dan grammar merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan dari kajian mengenai bahasa. Ketika kita membicarakan teks, maka kita juga sekaligus baik disadari atau tidak membicarakan grammar. Begitu juga sebaliknya, ketika kita mempelajari grammar bahasa Inggris contohnya, maka kita pasti mempelajari contoh-contoh penggunaan grammar (tenses, plurality, clause) melalui teks. Teks sebagaimana telah diketahui merupakan contoh bahasa, sehingga tidak heran jika kita selalu menghubungkan antara grammar dan teks. Karena grammar merupakan “Theory of Wordings” yang mana berarti teori dalam merangkai kata-kata sehingga membentuk sebuah teks yang utuh. Oleh karena itu, hubungan antara teks dan grammar menjadi lebih kompleks.
            Lebih lanjut, menurut Halliday (1985) dalam Emilia (2014) bahwa “A text is a semantic unit, not a grammatical one. But meaning are realised through wordings; and without a theory of wordings-that is grammar- there is no way of making explicit one’s interpretation of the meaning of the text” yang maksudnya adalah sebuah teks adalah sebuah unit semantik, bukan unit gramatikal, tetapi makna direalisasikan/dinyatakan melalui penyusunan kata dan tanpa teori penyusunan kata yaitu grammar, maka tidak ada cara membuat eksplisit/jelas interpretasi makna teks tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya grammar, maka makna (meaning) suatu teks tidak mungkin dapat direalisasikan. Oleh karena itu, relasi yang terbangun antara teks dan grammar tidak bisa dipisahkan dan merupakan satu kesatuan komponen bahasa yang utuh.
            Selain itu, teks dan grammar secara khusus mempunyai hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Contohnya adalah pengetahuan akan grammar yang baik akan memberikan dampak penggunaan bahasa yang baik pula. Seperti ketika kita dapat berbicara atau menulis dalam bahasa Inggris dengan baik (well-organized), maka itu artinya kita mempunyai pemahaman tentang English grammar yang mumpuni. Sebagaimana dikatakan oleh Derewianka (1998) dikutip oleh Emilia (2014) bahwa “To write a good text, we need a conscious knowledge of grammar, so we can make words work for us”, yang berarti bahwa kita butuh pengetahuan/wawasan yang sadar akan grammar untuk bisa menulis sebuah teks yang baik, sehingga kita dapat membuat teks itu berguna dan bermakna. Pengetahuan akan grammar, berdasarkan Derewianka (1985) mencakup pengetahuan tentang kata-kata, bagaimana kata-kata itu tersusun, dan bagaimana kata-kata itu dikombinasikan menjadi kalimat atau klausa.
            Dalam kajian Systemic Functional Linguistics dan Systemic Functional Grammar diketahui bahwa teks adalah objek kajian bahasa yang utuh dan bermakna, bukan dalam kata-kata atau klausa yang terisolasi/terpisah. Karena kita sebagai pengguna bahasa berkomunikasi dan berinteraksi dalam teks. Ada perbedaan yang mendasar antara teks dan klausa seperti yang dijelaskan oleh Halliday (2009) bahwa “The difference between a text and a clause is that a text is a semantic entity, i.e. a construct of meaning, whereas a clause is a lexicogrammatical entity, i.e a construct of wording”, yang berarti perbedaan antara sebuah teks dan sebuah klausa adalah bahwa sebuah teks adalah unit entitas/kesatuan semantik yaitu merupakan sebuah konstruksi makna (meaning), sedangkan sebuah klausa adalah sebuah unit entitas/kesatuan leksikogramatikal yaitu merupakan sebuah konstruksi penyusunan kata (wordings).
            Grammar secara langsung membangun makna yang diawali dengan dibentuknya kata-kata yaitu pada level lexicogrammar. Setelah itu, kata-kata itu membentuk sebuah klausa atau lebih sehingga tersusun menjadi sebuah teks yang utuh. Dalam hal ini, grammar-lah yang berfungsi untuk membuat makna dengan mengelola wordings pada tahap leksikogramatik dan mengusung unit semantik untuk sebuah teks. Sebagaimana dikatakan oleh Emilia (2014) bahwa “Grammar makes meaning and without the grammar, the meanings do not exist”, grammar menjadikan makna itu ada dan tanpa adanya grammar, maka tidak akan mungkin makna itu ada.
            Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa teks merupakan contoh yang salah satunya digunakan untuk kepentingan kajian/studi analisis linguistik. Karena semua deskripsi grammar dan data linguistik yang dibutuhkan dalam penelitian atau analisis bahasa itu didasarkan kepada teks. Hal ini relevan dengan apa yang dinyatakan oleh Halliday (2004) bahwa “Text is the form of data used for linguistics analysis; all description of grammar is based on the text”. Pada akhirnya, teks sebagai salah satu produk/hasil bahasa hanya akan menjadi teks tidak dilihat dari panjang atau pendeknya melainkan makna yang ada didalamnya, dan juga teks akan menjadi teks ketika teks itu dibaca/diujarkan atau ditulis.

Identifikasi Makna Teks melalui Grammar dan Konteks
            Konsep yang ada dalam grammar sebagaimana didasarkan pada kajian Functional Grammar bahwa teks mencerminkan pertukaran informasi dan pengalaman antar pengguna bahasa yang terlibat interaksi. Ketika terjadi suatu interaksi, entah itu secara lisan maupun tulisan, teks diorganisir dengan grammar melingkupi suatu makna dan tujuan tertentu bersama konteksnya. Secara semantik, teks sebagai ujaran atau tulisan selain harus terorganisasi dengan baik (gramatikal) juga harus mempunyai konteks yang mengiringinya. Hal inilah yang dapat dikatakan ‘Interdependence’, karena pada dasarnya bahasa digunakan untuk menuju sesuatu (tujuan) yang dikehendaki oleh pembicara atau penulis. Oleh karena itu, identifikasi mengenai grammar dalam teks dan konteks dalam teks merupakan proses untuk menggali makna dalam sebuah teks.

            Dalam mengidentifikasi makna sebuah teks, kita harus mengetahui terlebih dahulu konteks yang datang bersama teks tersebut. Seperti ketika kita berinteraksi dengan orang lain, tentunya kita mempunyai tujuan dan makna tertentu. Makna itu dibuat oleh grammar tetapi ditentukan arahnya oleh konteks. Hal ini sebagaimana diusulkan oleh Collerson (1994) dalam Emilia (2014) bahwa “Whenever we use language-in speaking or listening, in writing, reading or just thinking-we select and arrange the words and other components in certain ways, according to certain principles, though usually we’re not aware of doing so. It is this organisation which enables us to achieve all the various purposes for which we use language”, berarti bahwa kapan saja kita berbahasa (berbicara, mennyimak, menulis, dan membaca atau hanya sekedar berpikir) kita memilih dan menyusun kata-kata (grammar) dan komponen lain (konteks) dalam cara-cara tertentu, berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu. Pengelolaan inilah yang memungkinkan kita untuk mencapai berbagai tujuan dengan menggunakan bahasa.
            Sebagaimana dalam melihat konteks suatu teks, menurut Halliday (1985) yang dikutip oleh Emilia (2014) bahwa “The text creates the context as much as the context creates the text, meaning arises from the friction between the two”, yang berarti teks itu menciptakan konteks sebanyak konteks menciptakan teks, lalu makna muncul dari pergesekan antara keduanya. Oleh karena itu, makna secara gramatikal (clause/sentence meaning) adalah makna literal (secara harfiah), namun makna bersama konteks akan menghasilkan atau membawa teks kepada rujukan yang sebenarnya dituju oleh pembicara atau penulis. Jadi, setiap teks membutuhkan grammar (wordings) dan juga konteks situasi (apa, siapa, bagaimana) dan budaya (mengapa) (situation/culture) untuk dapat diidentifikasi makna atau meaning-nya.

Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan satu kesatuan makna yang disusun dan terorganisasi melalui grammar dan dikelilingi oleh konteks yang melingkupinya. Sedangkan grammar merupakan suatu cara bagaimana teks itu disusun melalui tahap wordings, klausa dan pemaknaan. Setelah itu konteks merupakan sesuatu hal yang melingkupi teks dan menentukan arah atau tujuan dari makna yang dibuat oleh grammar dalam teks. Hubungan antara grammar dengan teks dan konteks dapat dilihat melalui definisi yang diberikan oleh Halliday (2004) bahwa grammar adalah “Theory of experience”, yaitu yang berarti bahwa setiap kegiatan bahasa selalu berurusan dengan pengalaman yang hendak disampaikan oleh seorang pembicara atau penulis.

Referensi
Emilia, Emi. 2014. Introducing Functional Grammar. Bandung: Pustaka Jaya

Halliday, M.A.K and Matthiessen, M.I.M. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Hodder Arnold.