Nama : Denny
Nugraha
Kelas : TBI-B-VI
NIM :
1413132037
Chapter : VIII (Critical Discourse Analysis)
8.1 Pendahuluan
Istilah analisis wacana kritis diambil
dari penelitian yang dilakukan di bidang yang dikenal sebagai teori kritis (critical theory), yang mempertimbangkan
cara pandang sosial, kultural, ekonomi, dan politik dimana orang-orang tertentu
diposisikan secara tidak adil (Pennycook 1997:23). Hal ini juga dapat disebut bahwa
analisis wacana kritis merupakan cara tentang bagaimana penyampaian dan penerimaan
suatu teks secara ideologis dipengaruhi oleh hal-hal yang berhubungan dengan
kekuasaan atau kekuatan (power) (p.28).
Lebih lanjut, analisis wacana kritis mensyaratkan adanya literasi kritis (critical literacy) yang bertujuan untuk
memungkinkan pembelajar bahasa untuk memahami bahwa teks merepresentasikan
pandangan dunia, tujuan sosial, maksud dan perspektif yang berbeda. Istilah
literasi kritis sendiri diajukan oleh Paolo Freire berdasarkan pandangan kritis
terhadap wacana sebagai sebuah pendekatan dalam pendidikan yang bertujuan untuk
memberdayakan dan memberikan dukungan kepada sekelompok siswa yang terdiskriminasi.
Oleh karena itu, perspektif kritis pada
analisis wacana ditujukan untuk mengeksplorasi koneksi antara penggunaan bahasa
dengan konteks sosial dan politik dimana suatu wacana muncul atau terjadi. Sebagaimana
dinyatakan oleh Threadgold (1989) bahwa genre
dan wacana tidak bersifat bebas dari suatu ideologi atau objektif. Baginya,
genre tidak hanya merupakan kategori
linguistik belaka namun juga merupakan perwujudan dari sebuah proses yang
signifikan secara historis dan politis. Selain itu, Pennycook (1997) memberikan
pandangan yang serupa bahwa pendidikan bahasa selalu bersifat politis dan
selalu berkenaan dengan isu kekuasaan dan ketidaksetaraan. Oleh sebab itu,
dalam pandangan ini, pengajaran genre
hendaknya bertujuan untuk membuat konstruksi sosial dan perpindahan ideologi,
hubungan kekuasaan, dan identitas sosial yang kemudian dapat terlihat dan
dipahami oleh siswa. Jadi, perspektif kritis pada analisis wacana memungkinkan
kita untuk mengeksplorasi isu-isu seperti gender,
kesukuan (ras), perbedaan budaya, ideologi, dan identitas serta bagaimana
isu-isu tersebut direfleksikan kedalam teks tertentu (Pennycook 1997).
8.2 Prinsip-prinsip Analisis Wacana
Kritis
Fairclough dan Wodak (1997) menjelaskan
bahwa analisis wacana kritis didasarkan kepada delapan prinsip, yaitu sebagai
berikut:
1.
Analisis wacana
kritis mengalamatkan permasalahan sosial dengan menelaah karakter/ciri-ciri
linguistik dari suatu proses dan struktur sosial serta budaya.
2.
Hubungan kekuasaan
direalisasikan dan dinegosiasikan lewat wacana.
3.
Wacana
mencerminkan masyarakat dan budaya dalam bahasa bukan hanya merefleksikan
hubungan sosial namun juga bagian dari masyarakat dan budaya.
4.
Ideologi sangat
sering dihasilkan melalui wacana.
5.
Wacana tidak
dianggap terpisah dari wacana-wacana lain yang ada sebelumnya dan selalu berkaitan
atau saling berhubungan.
6.
Analisis wacana
kritis membangun hubungan antara proses dan struktur sosial dan budaya dengan
memanfaatkan sifat suatu teks.
7.
Analisis wacana
kritis berproses diluar deskripsi dan bersifat interpretatif dan berbentuk
uraian/penjelasan.
8.
Dengan menyingkap
keterbukaan dan hubungan kekuasaan, analisis wacana kritis adalah suatu bentuk
tindakan sosial yang bertujuan untuk menengahi dan membawa perubahan dalam
praktik yang bersifat sosio-politis dan komunikatif.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas,
analisis wacana kritis menggunakan landasan sosiopolitis dalam menelusuri
hubungan antara wacana, kekuasaan, dan ketidaksetaraan sosial (Van Dijk 1993).
Hal ini memberi gambaran bahwa hubungan antara bahasa dan makna tidak pernah
bersifat mana suka (arbitrary) dalam
pemilihan suatu genre, strategi retorika,
atau penggunaan kosa kata tertentu. Oleh karena itu, teks tidak dihasilkan dan
ditafsirkan secara terpisah (isolated)
tetapi dalam konteks dunia nyata dengan segala kompleksitasnya.
8.3 Menganalisis Teks melalui Sudut
Pandang Kritis
Huckin
menyatakan bahwa terdapat dua tahap dalam melakukan analisis kritis. Tahap
pertama yaitu dengan membaca (atau mendengarkan dan melihat) sebuah teks tanpa
adanya penekanan (membaca biasa). Kemudian, tahap kedua yaitu melangkah balik
dan meninjau kembali teks tersebut pada level yang berbeda, seperti mengajukan
pertanyaan tentang teks tersebut, mengimajinasikan bagaimana teks tersebut
dapat dibangun dengan cara yang berbeda, atau juga membandingkan teks tersebut
dengan teks yang lain (1997:81). Secara umum, Huckin membagi level atau
tingkatan dalam menganalisis wacana secara kritis yaitu melalui tiga tingkatan:
tingkat keseluruhan teks (whole-text
level), tingkat kalimat (sentence
level), dan tingkat kata atau frasa (word
and phrase level).
Pada
tingkat keseluruhan teks, Huckin memulai analisis kritis dengan menetapkan genre atau tipe teks apa yang
merepresentasikan teks. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan dari pembuatan
teks tersebut. Contohnya adalah seperti teks yang mungkin terlihat seperti satu
genre, namun faktanya merupakan genre lain yang berbeda (sebuah iklan
untuk sebuah restoran ditulis sebagai review).
Aspek yang lainnya dari tingkatan keseluruhan teks adalah framing yaitu tentang bagaimana konten dari teks dipresentasikan
dan bagaimana penulis atau pembicara memposisikan dirinya dalam suatu
perspektif. Hal ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai foregrounding yaitu berupa konsep atau
isu apa saja yang ditekankan. Oleh karena itu, sebelumnya penting untuk memahami
apa itu background knowledge, sikap (attitude), atau sudut pandang (point of view). Selanjutnya, pada
tataran kalimat, ahli analisis mungkin mempertimbangkan apa yang telah
dijadikan topik (topicalized) dalam
tiap kalimat. Topik merupakan apa yang diletakkan di depan setiap klausa berfungsi
untuk mengindikasikan tentang apa yang akan dijelaskan oleh kalimat tersebut
(siapa yang melakukan apa kepada siapa dan sebagainya). Sedangkan pada tataran
kata dan frasa, konotasi dianggap sebagai derajat formalitas atau informalitas
suatu teks. Hal ini juga bisa jadi berupa derajat teknis dan atau makna bagi
hubungan antara pembaca dengan penulis. Contohnya adalah dengan mengajukan
pertanyaan seperti; “apakah penulis mengasumsikan hubungan formal atau informal
dengan pembacanya?”. Oleh karena itu, pemilihan kata yang mengekspresikan derajat
kepastian dan attitude modality pada
bagian penulis juga patut ditelaah sebagai penentu apakah pembaca dapat
diharapkan untuk membagi pandangan tentang hal ini atau tidak.
8.4 Kritik terhadap Analisis Wacana
Kritis
Analisis
wacana kritis tidak dapat terlepas dari kritik. Contohnya adalah Widdowson
(1998), mengajukan bahwa penelitian dalam analisis wacana kritis sangat mirip
dengan analisis stylistic terdahulu
yang ada dalam kritik sastra. Dia berpendapat bahwa analisis kritis hendaknya
memasukkan pembahasan dengan melibatkan produser dan konsumen dari teks, dan
tidak hanya bersandar pada pandangan ahli analisis semata. Kemudian, Toolan
(1997), dalam sebuah artikel yang berjudul “What
is critical discourse analysis and why are people saying such terrible things
about it” berpendapat bahwa ahli analisis wacana perlu untuk lebih kritis
dan lebih mengandalkan alat-alat analisis sebagaimana mereka menggunakan wacana
atau teks. Sedangkan menurut Stubbs (1997) bahwa ahli analisis wacana kritis
harus memperhatikan pentingnya nilai-nilai sosial yang berpotensi mempunyai
signifikansi yang luas kepada masyarakat.
Kesimpulan
Analisis
wacana kritis membawa kita keluar dari tingkatan deskripsi kepada pemahaman
yang lebih mendalam tentang teks. Dan sejauh mungkin, kita bisa menalar
penjabaran mengenai mengapa suatu teks muncul dan apa yang sebenarnya menjadi
tujuan dari kemunculannya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Van Dijk (1998)
bahwa melalui wacana, ada banyak ideologi yang diformulasikan, diperkuat, dan
diproduksi kembali. Analisis wacana kritis bertujuan untuk menyediakan sebuah
cara untuk mengeksplorasi apa yang telah dijelaskan diatas dan mencoba untuk
mengungkap hal-hal yang mungkin tersembunyi dan tidak terlihat oleh pemahaman
biasa terhadap teks.
Question of this chapter:
1. What
are the significances of the critical discourse analysis in the teaching and
learning of language?
2. Why
are the critical discourse analysis influenced by the socio-political aspect?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar