Selasa, 24 Januari 2017

Summary of Discourse Analysis VIII April 3rd 2016



Nama              : Denny Nugraha
Kelas               : TBI-B-VI
NIM                : 1413132037
Chapter          : VIII (Critical Discourse Analysis)

8.1 Pendahuluan
Istilah analisis wacana kritis diambil dari penelitian yang dilakukan di bidang yang dikenal sebagai teori kritis (critical theory), yang mempertimbangkan cara pandang sosial, kultural, ekonomi, dan politik dimana orang-orang tertentu diposisikan secara tidak adil (Pennycook 1997:23). Hal ini juga dapat disebut bahwa analisis wacana kritis merupakan cara tentang bagaimana penyampaian dan penerimaan suatu teks secara ideologis dipengaruhi oleh hal-hal yang berhubungan dengan kekuasaan atau kekuatan (power) (p.28). Lebih lanjut, analisis wacana kritis mensyaratkan adanya literasi kritis (critical literacy) yang bertujuan untuk memungkinkan pembelajar bahasa untuk memahami bahwa teks merepresentasikan pandangan dunia, tujuan sosial, maksud dan perspektif yang berbeda. Istilah literasi kritis sendiri diajukan oleh Paolo Freire berdasarkan pandangan kritis terhadap wacana sebagai sebuah pendekatan dalam pendidikan yang bertujuan untuk memberdayakan dan memberikan dukungan kepada sekelompok siswa yang terdiskriminasi.
Oleh karena itu, perspektif kritis pada analisis wacana ditujukan untuk mengeksplorasi koneksi antara penggunaan bahasa dengan konteks sosial dan politik dimana suatu wacana muncul atau terjadi. Sebagaimana dinyatakan oleh Threadgold (1989) bahwa genre dan wacana tidak bersifat bebas dari suatu ideologi atau objektif. Baginya, genre tidak hanya merupakan kategori linguistik belaka namun juga merupakan perwujudan dari sebuah proses yang signifikan secara historis dan politis. Selain itu, Pennycook (1997) memberikan pandangan yang serupa bahwa pendidikan bahasa selalu bersifat politis dan selalu berkenaan dengan isu kekuasaan dan ketidaksetaraan. Oleh sebab itu, dalam pandangan ini, pengajaran genre hendaknya bertujuan untuk membuat konstruksi sosial dan perpindahan ideologi, hubungan kekuasaan, dan identitas sosial yang kemudian dapat terlihat dan dipahami oleh siswa. Jadi, perspektif kritis pada analisis wacana memungkinkan kita untuk mengeksplorasi isu-isu seperti gender, kesukuan (ras), perbedaan budaya, ideologi, dan identitas serta bagaimana isu-isu tersebut direfleksikan kedalam teks tertentu (Pennycook 1997).
8.2 Prinsip-prinsip Analisis Wacana Kritis
Fairclough dan Wodak (1997) menjelaskan bahwa analisis wacana kritis didasarkan kepada delapan prinsip, yaitu sebagai berikut:
1.      Analisis wacana kritis mengalamatkan permasalahan sosial dengan menelaah karakter/ciri-ciri linguistik dari suatu proses dan struktur sosial serta budaya.
2.      Hubungan kekuasaan direalisasikan dan dinegosiasikan lewat wacana.
3.      Wacana mencerminkan masyarakat dan budaya dalam bahasa bukan hanya merefleksikan hubungan sosial namun juga bagian dari masyarakat dan budaya.
4.      Ideologi sangat sering dihasilkan melalui wacana.
5.      Wacana tidak dianggap terpisah dari wacana-wacana lain yang ada sebelumnya dan selalu berkaitan atau saling berhubungan.
6.      Analisis wacana kritis membangun hubungan antara proses dan struktur sosial dan budaya dengan memanfaatkan sifat suatu teks.
7.      Analisis wacana kritis berproses diluar deskripsi dan bersifat interpretatif dan berbentuk uraian/penjelasan.
8.      Dengan menyingkap keterbukaan dan hubungan kekuasaan, analisis wacana kritis adalah suatu bentuk tindakan sosial yang bertujuan untuk menengahi dan membawa perubahan dalam praktik yang bersifat sosio-politis dan komunikatif.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, analisis wacana kritis menggunakan landasan sosiopolitis dalam menelusuri hubungan antara wacana, kekuasaan, dan ketidaksetaraan sosial (Van Dijk 1993). Hal ini memberi gambaran bahwa hubungan antara bahasa dan makna tidak pernah bersifat mana suka (arbitrary) dalam pemilihan suatu genre, strategi retorika, atau penggunaan kosa kata tertentu. Oleh karena itu, teks tidak dihasilkan dan ditafsirkan secara terpisah (isolated) tetapi dalam konteks dunia nyata dengan segala kompleksitasnya.
8.3 Menganalisis Teks melalui Sudut Pandang Kritis
Huckin menyatakan bahwa terdapat dua tahap dalam melakukan analisis kritis. Tahap pertama yaitu dengan membaca (atau mendengarkan dan melihat) sebuah teks tanpa adanya penekanan (membaca biasa). Kemudian, tahap kedua yaitu melangkah balik dan meninjau kembali teks tersebut pada level yang berbeda, seperti mengajukan pertanyaan tentang teks tersebut, mengimajinasikan bagaimana teks tersebut dapat dibangun dengan cara yang berbeda, atau juga membandingkan teks tersebut dengan teks yang lain (1997:81). Secara umum, Huckin membagi level atau tingkatan dalam menganalisis wacana secara kritis yaitu melalui tiga tingkatan: tingkat keseluruhan teks (whole-text level), tingkat kalimat (sentence level), dan tingkat kata atau frasa (word and phrase level).
Pada tingkat keseluruhan teks, Huckin memulai analisis kritis dengan menetapkan genre atau tipe teks apa yang merepresentasikan teks. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan dari pembuatan teks tersebut. Contohnya adalah seperti teks yang mungkin terlihat seperti satu genre, namun faktanya merupakan genre lain yang berbeda (sebuah iklan untuk sebuah restoran ditulis sebagai review). Aspek yang lainnya dari tingkatan keseluruhan teks adalah framing yaitu tentang bagaimana konten dari teks dipresentasikan dan bagaimana penulis atau pembicara memposisikan dirinya dalam suatu perspektif. Hal ini berkaitan dengan apa yang disebut sebagai foregrounding yaitu berupa konsep atau isu apa saja yang ditekankan. Oleh karena itu, sebelumnya penting untuk memahami apa itu background knowledge, sikap (attitude), atau sudut pandang (point of view). Selanjutnya, pada tataran kalimat, ahli analisis mungkin mempertimbangkan apa yang telah dijadikan topik (topicalized) dalam tiap kalimat. Topik merupakan apa yang diletakkan di depan setiap klausa berfungsi untuk mengindikasikan tentang apa yang akan dijelaskan oleh kalimat tersebut (siapa yang melakukan apa kepada siapa dan sebagainya). Sedangkan pada tataran kata dan frasa, konotasi dianggap sebagai derajat formalitas atau informalitas suatu teks. Hal ini juga bisa jadi berupa derajat teknis dan atau makna bagi hubungan antara pembaca dengan penulis. Contohnya adalah dengan mengajukan pertanyaan seperti; “apakah penulis mengasumsikan hubungan formal atau informal dengan pembacanya?”. Oleh karena itu, pemilihan kata yang mengekspresikan derajat kepastian dan attitude modality pada bagian penulis juga patut ditelaah sebagai penentu apakah pembaca dapat diharapkan untuk membagi pandangan tentang hal ini atau tidak.
8.4 Kritik terhadap Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis tidak dapat terlepas dari kritik. Contohnya adalah Widdowson (1998), mengajukan bahwa penelitian dalam analisis wacana kritis sangat mirip dengan analisis stylistic terdahulu yang ada dalam kritik sastra. Dia berpendapat bahwa analisis kritis hendaknya memasukkan pembahasan dengan melibatkan produser dan konsumen dari teks, dan tidak hanya bersandar pada pandangan ahli analisis semata. Kemudian, Toolan (1997), dalam sebuah artikel yang berjudul “What is critical discourse analysis and why are people saying such terrible things about it” berpendapat bahwa ahli analisis wacana perlu untuk lebih kritis dan lebih mengandalkan alat-alat analisis sebagaimana mereka menggunakan wacana atau teks. Sedangkan menurut Stubbs (1997) bahwa ahli analisis wacana kritis harus memperhatikan pentingnya nilai-nilai sosial yang berpotensi mempunyai signifikansi yang luas kepada masyarakat.
Kesimpulan
Analisis wacana kritis membawa kita keluar dari tingkatan deskripsi kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang teks. Dan sejauh mungkin, kita bisa menalar penjabaran mengenai mengapa suatu teks muncul dan apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari kemunculannya. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Van Dijk (1998) bahwa melalui wacana, ada banyak ideologi yang diformulasikan, diperkuat, dan diproduksi kembali. Analisis wacana kritis bertujuan untuk menyediakan sebuah cara untuk mengeksplorasi apa yang telah dijelaskan diatas dan mencoba untuk mengungkap hal-hal yang mungkin tersembunyi dan tidak terlihat oleh pemahaman biasa terhadap teks.
Question of this chapter:
1.      What are the significances of the critical discourse analysis in the teaching and learning of language?
2.      Why are the critical discourse analysis influenced by the socio-political aspect?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar